Rabu, 19 November 2008

Mengubah Pola Hidup

SANGAT mengkhawatirkan. Demikian dikatakan Ketua Pembina Yayasan Manikaya Kauci I Gst. Ketut Puriartha menanggapi kondisi hutan mangrove di Bali saat ini. Menurutnya, hutan mangrove bukan sekadar media konservasi, akan tetapi ke depan harus punya nilai ekonomis. Ia bisa menjadi objek pariwisata yang bisa memberikan nilai tambah bagi masyarakat yang ada di sekitarnya.

Puriartha mengatakan, kita seharusnya bercermin pada negara-negara lain. Kawasan ASEAN hutan mangrove sudah tidak dieksploitasi lagi. Pemanfaatannya dilakukan dengan menggunakan pendekatan pariwisata dan industri perikanan yang tidak mengubah ekosistem.

Pelestarian hutan secara umum, katanya, tidak bisa dilakukan secara parsial. Kalau Bali saja dihijaukan, itu tak akan memberi jalan keluar. Ini harus dilakukan oleh seluruh bangsa dan negara di seluruh dunia. Hutan sebagai paru-paru bumi memang harus dijaga kelestariannya. ''Yang terpenting, agar hutan bisa lestari adalah dengan mengubah pola dan perilaku hidup umat manusia di muka bumi ini,'' katanya.

Aktivis lingkungan ini mengatakan, suka atau tidak suka orientasi berpikir manusia harus diubah. Dari yang berpikir berkeinginan menjadi keperluan. Artinya, jika memanfaatkan atau mengeksploitasi alam jangan sampai mengikuti keinginan. Sebab, keinginan tak ada ada batasnya. Manfaatkan alam hanya untuk keperluan saja. Jangan berlebihan mengeksploitasi alam.

Lebih-lebih saat sekarang dengan dilaksanakan KTT Perubahan Iklim di Nusa Dua awal Desember 2007, ini merupakan momen yang terbaik bagi Bali untuk lebih peduli akan hutan secara umum. Barangkali hutan mangrove hanya sebagai contoh kecil saja. Delegasi Indonesia harus mampu meyakinkan negara pertama bahwa masalah pemanasan global adalah masalah kita bersama. Oleh karena itu, negara pertama harus ikut membantu melestarikan hutan sebagai paru-paru bumi.

Dikatakan, selama ini negara-negara pertama selalu menilai negara ketiga adalah perusak hutan terbesar. Ini tentu sangat naif. Negara pertama jangan hanya menyalahkan negara miskin, akan tetapi bagaimana negara produsen terbesar yang memanfaatkan sumber daya alam terutama hutan, bisa memberi hibah atau pemikiran-pemikiran kepada negara ketiga dalam upaya penyelamatan paru-paru bumi ini.

Ia mencontohkan negara Indonesia. Indonesia memiliki garis pantai hampir sepanjang 81.000 km. Wilayah pesisir itu menjadi penting karena merupakan pertemuan antara ekosistem daratan dan ekosistem lautan.

Ekosistem wilayah pantai berkarakter unik dan khas karena ekosistemnya perpaduan antara kehidupan darat dan air. Ekosistem wilayah itu memiliki arti strategis karena memiliki potensi kekayaan hayati baik dari segi biologi, ekonomi, bahkan pariwisata. Hal itu mengakibatkan berbagai pihak ingin memanfaatkan secara maksimal potensi itu.

Banyak hal yang bisa diperoleh dari keberadaan hutan mangrove. Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis. Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora spp), api-api (Avicennia spp), pedada (Sonneratia spp), tanjang (Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tenger (Ceriops spp) dan buta-buta (Exoecaria spp).

Ekosistem mangrove memiliki manfaat ekonomis seperti hasil kayu dan bukan hasil kayu, seperti pariwisata dan lainnya. Sedangkan manfaat ekologis dapat berupa perlindungan bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan. ''Di Bali, hutan mangrove bisa dikembangkan sebagai objek pariwisata yang bisa memberikan nilai lebih bagi masyarakat setempat,'' kata Gus Krobo, panggilan akrab I Gst. Ketut Puriartha.

Dikatakan, selain sebagai objek pariwisata, secara ekologis hutan mangrove dapat menjadi penahan abrasi atau erosi, gelombang atau angin kencang, pengendali intrusi air laut dan tempat habitat berbagai jenis fauna. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang, berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis.

Ia mengatakan, pengelolaan hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi.

''Pemerintah harus mempertahankan kondisi mangrove yang masih ada dengan menghentikan perizinan yang bertujuan mengkonversikan hutan mangrove menjadi bentuk lain seperti tambak, pertanian, HPH, industri, pemukiman dan sebagainya. Selanjutnya rehabilitasi hutan dapat dilakukan pada hutan-hutan mangrove yang memiliki kondisi yang paling kritis dan butuh penanganan segera. Selanjutnya pemerintah juga perlu menyadarkan masyarakat akan pentingnya hutan mangrove bagi ekosistem di laut atau di darat,'' katanya. (ian)


www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:


Serapan Aspirasi