Selasa, 13 Januari 2009

Reorientasi Gerakan Pemuda Dalam Penguatan Gerakan Pro-Demokrasi.

Kesadaran Baru Kaum Muda Dalam Mensinergikan Gerakan Parpol

dan (Lembaga Swadaya Masyarakat) LSM


Karl Marx mempercayakan perubahan sosial melalui perjuangan “kelas“. Max Weber berpendapat bahwa perubahan terjadi dari “Aliran Kultural”, dan Ortega Y Gasset yang mempercayai “Kaum Muda“ sebagai agen perubahan. Pandangan terakhir ini, di Indonesia memperoleh perwujudan historisnya. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa kemerdekaan bangsa ini dicetuskan oleh kaum muda pada era tahun 1945. Para pejuang kemerdekaan tersebut, lebih dikenal sebagai angkatan 45.

Mengutip tulisan M. Fadjruel Rachman, bahwa pada generasi pertama kepemimpinan nasional pasca proklamasi, dipenuhi para pemimpin muda, energik, dan progresif, sebut Presiden Sukarno (44 th), Wapres Mohamad Hatta (46 th), dan beberapa perdana mentri, seperti : Sultan Sjahrir (36 th), Amir Sjarifoeddin (40 th), Abdul Halim (39 th), Muhammad Natsir (42 th)

Pada era 1998, fakta sejarah menunjukan bahwa gerakan kaum muda memiliki taring yang cukup tajam. Yang melahirkan era reformasi. Era reformasi dimotori oleh kaum muda, khususnya mahasiswa yang tergabung dalam aksi penumbangan orde baru.

Kaum muda tidak hanya membuktikan gebrakanya di level nasional, namun juga di level provinsi, kabupaten / kota. Gebrakan kaum muda, juga sangat mewarnai arah dan langkah perkembangan sosial dan politik di suatu daerah. Sebagai ilustrasi, dalam era 1993, di Bali khususnya mencuat peristiwa yang menggegerkan suasana politik nasional, dimana masyarakat Bali yang dimotori oleh kaum muda melawan pembangunan mega proyek “Bali Nirwana Resort”. Aksi-aksi kaum muda saat itu yang mempopulerkan jargon, BALI : Bakal Amblas Lantaran Investor.

Paska aksi 1993-an, banyak aktivis-nya bergiat atau berprofesi sebagai aktivis LSM. Pilihan beraktivtas sebaga aktivis LSM adalah sebagai reaksi dari sistem politik yang represif yang dilancarkan oleh orde baru. Kekuasaan yang represif dan berlakunya mayoritas tunggal dalam sistem kepartaian, mengakibatkan keengganan para kaum muda untuk memasuki partai politik saat itu. Pada era tersebut berjuang melalui jalan extra parlementer, lebih banyak dipilih oleh kalangan kaum muda.

LSM dengan struktur yang lebih langsing, tentunya akan mampu bergerak lebih lincah, dan lebih mudah dalam menjalankan program. Karena sruktur dan lembaga yang sederhana, umumnya LSM dapat fokus dalam menekuni suatu bidang garapan atau memilih tema khusus. LSM berkonsentrasi pada bidang-bidang tertentu seperti, advokasi dibidang bantuan hukum, advokasi dalam bidang gender dan pemberdayaan wanita, LSM yang bergerak dalam bidang pendidkan, bergerak dalam bidang pemberdayaan dan advokasi ha-hak anak-anak.

Menjelang 2008, banyak generasi muda yang tertarik untuk melakoni aktivitas politik praktis, dengan memasuki ranah partai politik. Pemilihan jalur partai politik karena secara aturan dan perundang-undangan yang berlaku di Negara kita untuk memasuki jabatan politik haruslah melalui jalur partai politik. Kelebihan partai politik adalah pada kekuatan strukturalnya yang menjangkau sampai tingkat Banjar (anak ranting). Dengan struktur yang menjangkau sampai ketataran basis (tingkat banjar), seharusnya partai mampu menjaring aspirasi dan menyalurkanya melalui praksi-praksinya di lembaga legislatif. Partai juga seharusnya dapat berfungsi dalam mengagregasi aspirasi dan kepentingan masyarakat untuk diperjuangkan menjadi peraturan dan program.

Ke dua lembaga, baik partai maupun lembaga swadaya masyarakat, memiliki kekuatan dan kelemhanya masing masing. Partai maupun LSM, memiliki tujuan yang sama yaitu memperjuangkan kesejahteraan bersama, mengurangi kesenjangan antara kaum kaya dan miskin, merealisasikan keadilan sosial, serta menegakan nilai-nilai demokrasi. Jika kekuatan ini dapat digabungkan, maka alangkah dahsyat dampaknya dalam upaya mempercepat tercapainya kemakmuran dan keadilan.

Peran kaum muda, seharusnya dapat memberikan kontribusi dari dua jalur. Pertama kontrbusi dari jalur extra parlementer dan dari dalam jalur politik formal. Jalur ektra parlementer diwakili dari lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh dari lembaga swadaya masyarakat. Sedangkan peran kekuasaan politik formal diwakili dari partai-partai politik. Sadar atau tidak tokoh-tokoh pemuda, telah terjebak kedalam skenario asing “impossible hand” atau dalam pepatah Minang, digambarkan dengan ungkapan yang bermakna mendalam “bagaikan menari dalam tabuhan genderang orang lain”. Mengapa demikian karena, polarisasi antara aktivis partai dan aktivis LSM seolah-olah sudah tidak dapat disatukan bagaikan “air dan minyak”. Padahal kedua kekuatan tersebut kalau digabungkan merupakan pilar-pilar kekuatan untuk membangun bangsa dan negara kearah kemajuan, keadilan, dan kemakmuran bersama.

Meminjam istilah dari Antonio Gramsci yang disebut sebagai historical bock, dimana adanya kehendak dan kesadaran kolektif untuk bersatu. Benih-benih kesadaran baru mulai tersemai di ranah kognitif kaum muda, dimana baik partai maupun LSM adalah merupakan pilar demokrasi yang dapat mengarahkan kebijakan suatu Negara, daerah, kabupaten / kota, ke arah terwujudnya keadilan, kemakmuran, dan demokrasi. Polarisasi antara gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan partai politik, justeru akan kontra produktif terhadap kemajuan suatu bangsa. Bukan saja persaingan yang tidak sehat, namun polarisasi (pengkutuban) antara gerakan LSM dan partai, secara sistematis melemahkan pertahanan dan daya tahan suatu bangsa. Analogi sederhana yang dapat menggambarkan yaitu jika suatu bangsa atau negara mengalami perang saudara sudah tentu akan sangat mudah bagi pihak external untuk menguasai.

Polarisasi dan dikotomi LSM dan partai sudah harus disudahi. Musuh kita adalah kapitalisme global, yang sering juga disebut neo-libral. Neo-libral bekerja dengan mesin turbonya yang disebut globalisasi dan perdagangan bebas (free trade). Yang akan menghisap dan mengeksploitasi bangsa kita. Kaum neo-libral dengan globalisasi dan pasar bebasnya akan menghisap dan menyedot segala potensi dan kekayaan, baik kekayaan alam maupun kemampuan sumber daya mansianya.

Dalam era globalisasi dengan pasar bebasnya, kaum muda dituntut untuk mampu berjuang secara kreatif, untuk dapat eksis dalam persaingan internasional. Kalau kaum muda tidak menyiapkan diri dalam mengantisipasi kondisi saat ini, maka kita akan tergerus dan tergilas oleh mesin pemiskinan global, yang selalau siaga untuk menggusur, meminggirkan dan memarginalkan kaum muda.

Mengutip pernyataan Franz Magnis Suseno, dalam buku yang berjudul : Pemikiran Karl Marx, dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisisionisme, bahwa perubahan politik hanya dapat dilakukan dengan perubahan sosial. Namun pengalaman bergelut dan hidup ditengah-tengah masyarakat, bahwa perubahan politik juga sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial. Maju atau mundurnya suatu negara atau masyarakat sangat tergantung dengan ideologi dan strategi politiknya. Seorang kawan dari Banglades, Michael Gomes mengatakan bahwa miskin atau kayanya seseorang atau negara sangat tergantng oleh kecakapanya dalam berpolitik. Kondisi tersebut telah diungkapkan oleh filsup Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia disamping sebagai mahluk sosial adalah juga sebagai mahluk politik. Pernyataan tersebut menginspirasikan, bahwa baik pergerakan kaum muda melalui jalur LSM, maupun pergerakan kaum muda melalui partai politik memiliki peran yang strategis yaitu menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, kesejahteraan bersama, dan keadilan. Pengalaman, medan kerja dan ranah perjuangan masing-masing, tentunya akan menghasilkan kedalaman dan kematangan pemaknaan tentang nilai nilai sosial. Semoga kolaborasi LSM dan partai politik menghasilkan kesejahteraan, penghormatan dan kemuliaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan bukan sebaliknya.

I Komang Adiartha, S Sn

Founder Anak Tangguh Foundation.

www.anaktangguh.wordpress.com


Serapan Aspirasi