Minggu, 30 November 2008

Koleksi YKBK Aset Berharga yang Patut Dijaga

KOLEKSI jutaan dokumen dan buku Bung Karno serta tokoh-tokoh Nasional dan dunia pada zamannya, yang dimiliki Yayasan Kepustakaan Bung Karno (YKBK), merupakan aset yang sangat penting, berharga, sekaligus aset yang patut dijaga keutuhannya. Koleksi-koleksi ini selain sebagai referensi sejarah nasional dan dunia, juga dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran oleh masyarakat untuk mengenang dan mengenal kegigihan para pejuang dulu mempertahankan keutuhan NKRI.

Tidak banyak orang ataupun pihak-pihak yang memiliki koleksi tokoh dunia, seperti Bung Karno sekaligus tokoh Proklamator Indonesia dan tokoh-tokoh dunia lainnya pada zamannya. Menurut Ketua Yayasan kepustakaan Bung Karno, YKBK, Gus Marhaen, jutaan koleksi ini tidak didapat dengan mudah. Diperlukan perjuangan fisik, pikiran dan materi untuk mengumpulkan jutaan koleksi penting Bung Karno bersama sejumlah tokoh dunia yang bersejarah ini.

Yayasan Kepustakaan Bung Karno, YKBK, merupakan satu-satunya pihak yang mengoleksi dokumen-dokumen penting bangsa ini, baik di Bali dan merupakan yang pertama di Indonesia. Dokumen itu, ada berbentuk buku ataupun foto.

Seperti foto Bung Karno ketika masih muda, foto perjuangan Bung Karno ketika masih remaja, hingga menjadi orang nomor satu di Indonesia. Termasuk koleksi YKBK tentang foto-foto keluarga Bung Karno bersama putra-putrinya. Dokumen foto putri Bung Karno, Megawati Sukarnoputri ketika kecil, remaja juga dipajang di sini. Misalnya, foto ketika Bung Karno mencium putrinya, Megawati Soekarnoputri. Foto ini membawa pesan penting, yakni kasih orangtua kepada putrinya, dan kasih seorang tokoh proklamator dan partai kepada konstituennya. Selain itu juga terdapat koleksi buku-buku penting pada zamannya. Karena usia buku sudah sangat tua, maka keamanan dan perjagaannya dilakukan dengan sangat ketat. Salah seorang masyarakat yang datang mengunjungi koleksi YKBK, Agung Buda, sangat terharu dan bangga dengan koleksi ini. Agung Buda mengharapkan koleksi ini bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat tentang sejarah bangsa Indonesia.

Bersamaan dengan itu, panitia bersama perayaan 80 tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober 2008, juga berkunjung ke Yayasan Kepustakaan Bung Karno di Jalan Hayam Wuruk 179 Denpasar.

Panitia bersama yang dipimpin ketua panitia Ir. IGK Puriartha didampingi Sekretaris Panitia Putu Ika Wahyuni ST., M.Si., sekaligus mengunjungi koleksi Yayasan Kepustakaan Bung Karno. Salah satunya adalah foto keluarga Bung Karno dan foto masa kecil hingga relawan ganyang Malaysia bersama ribuan rakyat Indonesia tahun 1964. Panitia bersama perayaan 80 tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober 2008, juga melihat koleksi dokumen perjuangan pemuda di zaman Bung Karno.

Kehadiran panitia bersama ini sekaligus sosialisasi nomor urut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 28 yang nanti juga dirangkai dengan gema 28 semangat Aktualisasi Sumpah Pemuda.
(kmb)


www.balipost.com

Selasa, 25 November 2008

Hubungan Wakil Rakyat dan Konstituen

Permasalahan keterwakilan merupakan pilar penting yang menopang keberadaan sistem demokrasi perwakilan. Secara historis jenis demokrasi perwakilan berkembang sejalan dengan kompleksitas masyarakat yang tidak lagi memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan. Hal inilah yang memicu pemikiran para teoritisi untuk menggagas adanya mekanisme “perwakilan” dimana para anggota masyarakat mewakilkan kepentingannya dalam proses pengambilan keputusan melalui wakil-wakilnya yang dipilih melalui mekanisme pemilu. Baik sistem majoritarian, atau yang di Indonesia sering disebut dengan sistem distrik maupun sistem proporsional merupakan dua jenis utama dari banyak sistem pemilihan yang digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan.

Sejak pemilu 2004, Indonesia mulai menerapkan sistem pemilu Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka sebagai pengganti sistem pemilu pada tahun 1999 yang menggunakan sistem pemilu Proporsional dengan Daftar Calon Tertutup. Perubahan mekanisme pemilu ini dilakukan berdasarkan salah satu pertimbangan utama bahwa selama ini sistem proporsional daftar tertutup cenderung memberikan kekuasaan yang terlalu besar bagi partai politik, terutama DPP (Dewan Pimpinan Pusat), untuk menjaring dan menentukan calon anggota legislatif sehingga kemudian kepentingan lokal dari para pemilih menjadi terabaikan. Selain itu magnitudo daerah pemilihan yang diukur dengan banyaknya jumlah kursi, sering juga disebut sebagai faktor lain yang menentukan perhatian para anggota dewan terhadap konstituen yang diwakilinya.

Sistem Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka, diperkirakan merupakan sebuah solusi yang ditawarkan untuk mengurangi terjadi permasalahan tersebut. Melalui mekanisme ini partai politik mengajukan para calon dalam daftar dan masyarakat yang memilih langsung calon yang memilih akan menjadi wakil rakyat dari daerahnya. Namun sayangnya sistem proporsional daftar terbuka kita tidak dilakukan secara konsisten. Hanya calon yang peroleh suara mencapai bilangan pembagi pemilih (BPP) yang dapat dinyatakan terpilih, selain dari itu ditetapkan berdasarkan urutan daftar calon yang disusun oleh parpol. Kesenjangan wakil rakyat pilihan konstituen dan parpol masih banyak terjadi. Untuk mengakomodasi kepentingan daerah, mulai pemilu tahun 2004, dibentuk pula Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang secara fungsional mereprentasikan kepentingan masing – masing provinsi di tingkat nasional. Anggota DPD dipilih melalui sistem SNTV (Single Non-Transferable Vote), pemilih memberikan suaranya hanya untuk satu calon, dimana empat pemenang suara terbanyak akan mewakili provinsi bersangkutan di DPD. Untuk lebih menjamin terwakilan daerah, tidak seperti anggota DPR/DPRD, anggota DPD disyaratkan domisili minimal. Sekurang –kurangnya calon anggota DPD harus telah tinggal selama 3 tahun secara berturut-turut atau 10 tahun sejak berusia 17 tahun di provinsi yang diwakilinya.

Dengan sistem pemilihan yang baru konsep daerah pemilihan menjadi lebih jelas. Walaupun magnitudonya yang dirasakan masih terlalu besar, namun kejelasan masyarakat mana yang diwakili oleh seorang anggota dewan, mereka tinggal di wilayah mana saja, aspirasi masyarakat mana yang perlu diperjuangkan, dan kepada siapa wakil rakyat harus akuntabel, dengan daerah pemilih sekarang semakin nyata. Dengan kondisi ini seharusnya, para anggota dewan akan lebih mudah menangkap apa persoalan konstiuennya, dan sebaliknya masyarakat juga akan lebih tahu kepada anggota yang mana aspirasi mereka perlu disampaikan.

Tanggungjawab sebagai wakil rakyat mengharuskan mereka untuk menjalin komunikasi secara intensif dengan konstituennya untuk mengetahui berbagai perubahan maupun permasalahan yang terjadi. Dengan komunikasi politik yang berjalan baik , para wakil rakyat tersebut akan memiliki kemampuan untuk menghimpun informasi , kemudian melakukan identifikasi terhadap permasalahan-permasalahan yang ada serta memikirkan kemungkinan-kemungkinan tawaran solusi yang mungkin diajukan. Tanpa komunikasi yang efektif antara konstituen dengan anggota legislatif ,maka akan terjadi kemacetan dalam sistem politik yang mengakibatkan aspirasi dan kepentingan konstituen tidak terwujud. Kemacetan ini seringkali berakibat pada munculnya cara-cara penyaluran aspirasi dengan menggunakan metode lain seperti demontrasi bahkan cara-cara yang melibatkan kekerasan.

Dalam sebuah sistem politik yang berjalan baik, para wakil rakyat akan mampu melakukan fungsinya untuk melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan konstituen yang diwakilinya sebagai in-put dalam proses melaksanakan fungsi – fungsinya di dewan. Out-put yang dihasilkan dari proses pengolahan kebijakan di parlemen mencerminkan proses tawar-menawar dalam perdebatan di parlemen sebagai wujud kinerja wakil rakyat dalam memperjuangkan aspirasi konstituen yang diwakilinya. Out-put dapat berarti pula peningkatan pemahaman konstituen tentang agenda dan bagaimana pemerintahan bekerja, pengetahuan tentang program pemerintah dan kemana konstituen dapat memperoleh bantuan dan mendapat akses yang diperlukan, pemahaman kemana dapat memberikan masukan terhadap program pemerintah, dan mendapatkan asistensi atau rujukan terhadap permasalahan legal ataupun sosial yang dihadapi. Disini mekanisme umpan–balik (feed-back) memainkan peran penting agar proses politik dapat berjalan secara kontinyu. Dari produk yang dikeluarkan oleh parlemen inilah maka konstituen dapat memberikan penilain apakah wakil rakyat yang telah dipilihnya benar-benar mewakili kepentingan konstituen yang bersangkutan. Kunci keberhasilan dari mekanisme ini sekali lagi adalah apabila wakil rakyat berhasil membangun komunikasi yang efektif dengan konstituen yang diwakilinya. Beberapa langkah dapat dilakukan oleh para wakil rakyat untuk melakukan komunikasi dengan konstituen yang efektif.

Pertama, menciptakan tata tertib DPR/D maupun DPD yang dapat menjadi acuan serta standar dalam kegiatan komunikasi dengan konstituen. Peraturan perundang – undangan sekarang, sama sekali tidak menyebutkan mekanisme kegiatan komunikasi dengan konstituen tersebut secara jelas. Sehingga kiranya diperlukan sebuah acuan legal yang dapat menjadi standar pengaturan mekanisme tersebut. Tata tertib tersebut paling tidak harus memuat hal-hal seperti : batasan kegiatan komunikasi dengan konstituen, hak dan kewajiban anggota legislatif dalam melakukan kegiatan komunikasi tersebut, hak dan kewajiban konstituen dalam berpartisipasi dalam kegiatan komunikasi dengan anggota legislative tersebut serta adanya sanksi bagi semua pihak yang melanggar aturan yang telah ditetapkan mengenai kegiatan komunikasi dengan konstituen tersebut. Hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tata tertib tersebut adalah sikap keberpihakan terhadap kepentingan konstituen agar dapat mengkomunikasikan aspirasi dan kepentingannya kepada anggota legislatif. Sehingga tata tertib tersebut diupayakan tidak terlalu birokratis sehingga kemudian justru menyulitkan komunikasi antara para wakil rakyat dengan konstituennya.

Kedua, pengaturan kunjungan dan pertemuan dengan konstituen. Hal ini harus dilakukan oleh para wakil rakyat dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti luas wilayah yang diwakilinya serta kebutuhan khusus yang dimiliki oleh konstituennya. Dengan demikian para wakil rakyat tersebut dapat memperhitungkan frekuensi kunjungan dan pertemuan agar berjalan secara efektif dan efesien. Untuk mencapai tujuan ini kiranya para wakil rakyat tersebut juga harus memastikan bahwa konstituen mengetahui kapan dan dimana pertemuan terbuka tersebut akan dilaksanakan. Pertemuan terbuka bagi masyarakat di daerah pemilihan telah dimulai oleh CETRO dialakukan di tingkat Kabupaten di 5 provinsi pada tahun 2002, dan oleh IFES bersama mitra lokalnya di Sumut pada awal 2005. Namun gagasan pembuka ini, tidak kedengaran ditindaklanjuti oleh para anggota dewan sendiri.

Tidak kalah pentingnya adalah format pertemuan yang harus dilakukan secara informal sehingga dapat memberikan peluang baik secara psikologis maupun kultural pada konstituen untuk menyampaikan aspirasinya. Selain melakukan pertemuan konstituen dalam bentuk pengumpulan massa , para wakil rakyat hendaknya juga tidak segan-segan melakukan kunjungan dengan metode canvassing atau door-to-door. Hal ini dapat membantu menciptakan suasana yang lebih informal dan pribadi. Melalui metode ini maka para wakil rakyat dapat melihat dari dekat kehidupan dan masalah yang dihadapi oleh konstituennya sehari-hari. Para wakil rakyat tentu dapat juga menggunakan berbagai organisasi aktif (ormas, keagamaan, buruh, LSM, usaha dll) yang ada di daerah pemilihan untuk dapat mendapatkan informasi, permasalahan, dan aspirasi yang berkembang di konstituennya. Sering kita akan memperoleh informasi dari pihak – pihak yang memang langsung berada dan aktif mendampingi masyarakat setempat. Jangan kita hanya puas dengan mendapatkan informasi dari perwakilan parpol kita ataupun pihak pemerintah setempat. Karena itu anggota dewan perlu memiliki daftar dan kontak berbagai organisasi yang aktif di daerah pemilihannya.

Ketiga, membuka peluang bagi konstituen untuk menyampaikan aspirasinya berdasarkan inisiatif pribadi. Hal ini dapat dilakukan apabila para wakil rakyat menyadari posisi sebagai “pelayan kepentingan publik”. Para wakil rakyat misalnya dapat menyediakan alokasi waktu khusus di kantor mereka baik di DPR maupun di DPRD. Konstituen seharusnya juga dapat mengundang para wakil rakyat tersebut untuk datang pada pertemuan yang dilakukan atas dasar inisiatif konstituen, seperti mengundang konstituen ke sekolah-sekolah untuk melakukan tatap muka dan berdialog dengan calon atau para pemilih pemula serta melakukan pendidikan politik. Sementara itu bagi konstituen yang mengalami kesulitan untuk menyalurkan aspirasinya dengan metode tatap muka seperti ini, maka dapat dibuka peluang bagi konstituen untuk mengirimkan surat atau melakukan hubungan telepon dengan para wakil rakyat. Hal ini akan sangat terbantu dengan dukungan fasilitas kelembagaan seperti pembukaan kantor konstituen di daerah yang diwakili oleh wakil rakyat tersebut. Dengan mempekerjakan staf secara tetap yang bertugas menerima keluhan masyarakat baik melalui surat maupun telpon diharapkan proses tindak lanjut (follow-up) tersebut dapat berjalan secara kontinyu hingga sampai ke tingkatan menjalankan fungsi mereka di parlemen. Melalui pembukaan kantor konstituen ini kiranya dimungkinakan terjadinya kerjasama lintas partai antara para wakil rakyat yang mewakili sebuah daerah pemilihan tertentu. Tanggungan dana operasional dapat dilakukan secara bersama-sama antara para wakil rakyat yang mewakili daerah pemilihan tersebut. Kiranya tambahan tunjangan perbulan (Rp 10 juta) yang mulai diperoleh akhir tahun ini, seharusnya dapat mendanai kantor konstituen. Rumah aspirasi yang sudah dimulai sebagai percontohan di beberapa provinsi oleh DPD, dapat dikembangkan lebih jauh sebagai satu alternatif lain.

Keempat, melalui pemanfaatan media massa. Hal ini dapat dilakukan mengingat media massa memiliki jaringan dan daya jangkau yang cukup luas terhadap konstituen terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Pemanfaatan media massa ini dapat dilakukan dalam bentuk dialog interaktif baik di radio maupun televisi yang menghadirkan para wakil rakyat tersebut. Bekerjasama dengan media cetak setempat juga akan sangat berguna untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat lebih luas di daerah pemilihan tentang apa saja yang telah dilakukan dan permasalahan yang dihadapi wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya, perkembangan dalam pemerintahan, serta informasi yang dapat berguna terutama dalam mendapatkan bantuan terhadap masalah – masalah yang dihadapi oleh konstituen.

Langkah-langkah mengefektifkan komunikasi politik tersebut kiranya juga dapat dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap system demokrasi perwakilan sekaligus bentuk akuntabilitas para anggota dewan, dan ruang masyarakat menyampaikan aspirasi serta kontrolnya. Selanjutnya mekanisme reward and punishment tentu diharapkan akan berlaku melalui proses pemilu dimana kinerja wakil rakyat tersebut dinilai oleh konstituen yang memutuskan untuk memilih mereka kembali sebagai wakil rakyat di parlemen atau tidak pada pemilu selanjutnya.

guskrobo-center

Sabtu, 22 November 2008

Reformasi Birokrasi

Birokrasi memiliki peran yang strategis untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Ironisnya selama ini birokrasi pemerintah belum menunjukkan kinerja yang diharapkan. Masyarakat menilai bahwa kinerja birokrasi masih buruk, tidak profesional dan masih sarat dengan tindakan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktik korupsi, dan belum menjadi pelayanan masyarakat melainkan melainkan pihak yang dilayani, padahal di era otonomi daerah ini seharusnya birokrasi adalah sebagai pelayanan masyarakat. Citra negatif dalam birokrasi tersebut, menurut Toha (2002), masih tertanam bahkan setelah sepuluh tahun reformasi bergulir. Perbaikan birokrasi yang dicanangkan permerintah selama ini belum berjalan secara optimal.

Berbagai predikat negatif ditujukan terhadap birokrasi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan dewasa ini. Predikat negatif ini terkait dengan penyakit birokrasi “korupsi kolusi dan nepotisme” (KKN), dan rendahnya kinerja yang dapat diukur dengan lambatnya dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kondisi demikian berakibat pada tingkat kredibilitas birokrasi yang makin merosot dan timbulnya ketidakpercayaan dan skeptis dari masyarakat terhadap kinerja birokrasi. Disamping itu, berbagai publikasi hasil kajian ilmiah yang dilakukan oleh beberapa lembaga independen internasional, senantiasa menempatkan Indonesia pada urutan terbawah dalam pelayanan publik. Indikasi tersebut merupakan salah satu indikator negatif akan rendahnya kinerja birokrasi pemerintah dewasa ini.

Kondidisi inilah yang kemudian harus disikapi, kata kuncinya adalah Reformasi Birokrasi yang pada dasarnya merupakan satu upaya perubahan dimana dilakukan secara sadar, untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang dinamis. Upaya tersebut, dilakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi secara tepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sebagaimana diamanatkan konstitusi. Kesadaran diri untuk melakukan upaya perubahan kearah yang lebih baik, merupakan cerminan dari sebuah kebutuhan. Kebutuhan tersebut, bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas ini, sesungguhnya juga menunjukkan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang sebenarnya diharapkan dengan fakta aktual mengenai peran birokrasi dewasa ini.

Reformasi birokrasi bukanlah pekerjaan yang mudah dan dapat dilaksanakan dalam waktu singkat. Reformasi birokrasi akan berhasil bila terdapat komitmen aparatur yang kuat dan diikuti dengan tindakan nyata untuk merubah perilaku dan budaya birokrasi. Oleh karena itu perlu dilakukan:

  • Mengutamakan peningkatan kesadaran dan tanggung jawab profesional seluruh aparat birokrasi, melalui peningkatan kompetensi dan kesejahteraan PNS.
  • Penataan kelembagaan dan manajemen, serta sistem dan pelaksanaan pengawasan aparatur negara secara bersamaan juga musti diperbaiki.
  • Untuk melaksanakan komitmen tersebut juga tidak terlepas dengan dukungan, kerjasama dan pengawasan dari masyarakat sebagai salah satu pilar dari penerapan good governance. Karena tanpa dukungan dari masyarakat, mustahil untuk melaksanakan reformasi birokrasi.


guskrobo-center

Jumat, 21 November 2008

Komitmen Kebangsaan

Situasi terakhir menunjukkan bahwa, sudah menjadi kecenderungan masyarakat Indonesia ter- fragmentasi dalam lokus identitas yang berbasis ideology keagamaan, etnis, dan jender (Politik Identitas). Erosi komitmen kebangsaan di hampir segenap komponen masyarakat terjadi begitu luas. Cita-cita luhur bapak bangsa yang membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan semangat persatuan, kesatuan dalam bingkai Bineka Tunggal Ika semakin pudar dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semangat patriotisme (cinta Tanah Air) kaum muda semakin kering, demikian pula soal pemahaman dan penghargaannya terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa, makin rendah.

Masyarakat sudah cenderung tidak takut dan ragu untuk memaksakan kehendaknya bahwa kelompoknya yang paling benar. Nilai keberagaman, toleransi, dan pluralisme semakin tidak dihargai oleh mereka. Jika terus dibiarkan hal ini sangat memprihatinkan dan akan menjadi api dalam sekam,

Lebih mencemaskan lagi dalam dalam kurun waktu 80 tahun pasca komitmen persatuan yang termanifestasi dalam Sumpah Pemuda, terlihat semakin beraninya kelompok masyarakat yang mengedepankan politik identitas untuk berbenturan atau bertabrakan dengan elemen masyarakat yang kuat komitmen kebangsaannya, terlihat di berbagai daerah dalam bentuk polemik dan konflik antarwarga masyarakat termasuk polemik UU Pornografi yang sedang menghangat.

Untuk itu sudah waktunya upaya membangun kembali komitmen kebangsaan diformulasikan oleh seluruh elemen dan komponen bangsa untuk memperteguh kembali semangat Satu Nusa, Satu Bangsa dan Menjunjung Bahasa Persatuan. "Revitalisasi Pancasila juga dapat dilakukan mulai dari mengenalkan kembali Pancasila sesuai dengan konteks yang sesungguhnya. Pancasila tidak boleh lagi dimitoskan seperti pada masa Orde Baru di tengah masyarakat, namun menjadi landasan yang kuat bagi realitas publik yang semakin rasional.

Nilai-nilai Pancasila tidak pernah diwujudkan dalam arti sebenarnya. Nilai-nilai Pancasila tidak pernah jadi acuan atau hanya jadi acuan dalam mulut, tetapi dalam praktik kehidupan berbangsa malah diinjak-injak.Harusnya Pancasila tetap bisa diterapkan, hanya saja bagaimana pemimpin negeri ini mewujudkan nilai-nilai itu. Misalnya, kampanye bagaimana mewujudkan nilai-nilai Pancasila itu, sehingga pemimpin-pemimpin bangsa mendatang dalam koteks Pemilu 2009 bisa mengacu pada nilai-nilai Pancasila dan harus mengembalikannya ke tempat yang lebih tepat sebagai Dasar Negara.

guskrobo-center

Kamis, 20 November 2008

Mencari Sosok Politisi

Sepuluh tahun pasca reformasi kondisi Indonesia secara keseluruhan memang masih belum menunjukkan kondisi yang lebih baik. Begitu banyak permasalahan sosial yang belum bisa terselesaikan. Apapun kondisi Indonesia sekarang dan masa depan nyatanya tidak bisa lepas dengan situasi polik yang ada. Olehnya kemudian diperlukan pemimpin politik yang memiliki latar belakang cukup baik dan memiliki motivasi, semangat, dan keyakinan dalam menghadapi masalah hari ini dan hari depan. Pemimpin politik yang dicari adalah orang-orang yang dapat menumbuhkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan bahwa Indonesia sanggup memulai hidup dari kekuatan sendiri.

Kesadaran dan keyakinan masyarakat menjalani hajat hidup hari ini dan hari depan juga dapat dibangkitkan kalau sang pemimpin politik bersedia konsisiten. Stop korupsi dan segala bentuk komersialisasi kekuasaan yang melibatkan korporasi besar dan membuat masyarakat menderita, sementara sang pemimpin politik bergelimang harta. Masyarakat butuh pemimpin politik yang tidak takut memaknai jabatannya sebagai perjuangan kepahlawanan. Dari sinilah perilaku politik calon pemimpin yang diajukan baik oleh Partai Politik ataupun kelompok Independen diuji, apakah punya kredibilitas dan integritas mengemban daulat rakyat?

Persoalan yang dihadapi rakyat bangsa ini, seperti adanya diskriminasi, ketidakadilan, dan pemerasan sosial bukan disebabkan oleh minimnya solusi yang ditawarkan, melainkan kurangnya kekuasaan dalam mengimplementasikan solusi. Satu-satunya cara untuk membangun masayarakat dalam jangka waktu lama adalah mengorganisasikan masyarakat dalam visi bersama. Tetapi meskipun demikian baik perjuangan, dukungan politik maupun pengembangan kemandirian ekonomi dan pengembangan internal lainya tidak akan berhasil membawa rakyat bangsa ini lepas dari permasalahan jika mengabaikan fakta adanya ketidakstabilan di dalam komunitas masyarakat, tidak adanya kelompok masyarakat terdidik secara politik dan belum tersedianya infastruktur pasar untuk akses modal dan produksi.

guskrobo-center

Membuat Perubahan yang lebih baik

Untuk Kesekian kalinya Manikaya Kauci melaksanakan diskusi reguler. Diskusi ini dilaksanakan setiap bulannya tepat saat bulan purnama oleh nya kemudian aktifitas ini dinamai dengan "Wacana purnama". Pada hari sabtu tgl 16 Agustus 2008, bersama komunitas jaringan, Makau melaksanakan wacana purnama dengan mengambil tema "Renungan 63 tahun Kemerdekaan Indonesia, Apa dan bagaimana membuat perubahan yang lebih baik bagi Masyarakat". Ada dua orang narasumber yang dihadirkan, yakni Ir. I gusti Ketut Puriartha, SH Ketua DPD BMI [Banteng Muda Indonesia] dan I Nyoman Mardika, SS dari Komisi Penyiaran Indonesia [KPI] Bali.

Suasana santai tidak menghilangkan keseriusan, diskusi berjalan dengan dinamais, Nyoman Mardika mengatakan, "sebagai golongan muda yang pro terhadap demokrasi dan perubahan, tidak bisa lagi untuk duduk diam dan membiarkan Indonesia dalam keterpurukan, secara pribadi saya tidak rela jika hasil perjuangan temen-temen mahasiswa bersama rakyat di tahun 1998, telah diambil oleh orang-orang yang sama sekali tidak pernah perduli dengan nasib bagsa ini". Hal senada juga diungkapkan oleh Gus, Krobo [Ir.Igst.Ketut Puriartha] menurutnya, sudah saatnya untuk menentukan sebuah pilihan, apakah mau jadi penonton atau masuk dalam lingkaran kekuasaan itu sendiri guna mewarnai dan memperkuat serta mengawal jalannya demokrasi di Indonesia.

Pernyataan ke dua nara sumber mendapatkan respon dari para peserta, ada sebuah keraguan yang begitu besar, sampai sejauh mana kemudian komitmen kelompok pro demokrasi ketika masuk dalam lingkaran kekuasaan masih komit terhadap idealismenya, karena realita banyak juga orang-orang yang mengaku sebagai kelompok prodem malah larut dalam kekuasaan itu sendiri.

Gus Krobo mengatakan, " Saya mengakui kondisi semacam itu memang tetap ada, tapi yakinlah tidak semua orang sama seperti itu, olehnya kemudian seperti yang dkatakan Mardika, kita yang harus merebutnya kembali. Jujur saya akui bahwa di pemilu 2009 nanti akan maju untuk mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Daerah Bali [DPD]. dan saya punya komitmen yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat khususnya masyrakat Bali.

Bagaimana seandainya nanti Gus Krobo sudah jadi DPD, jangan-jangan nanti kondisinya sama? terlontar pertanyaan dari salah seorang peserta. "Seandainya memang saya tidak bisa berbuat banyak untuk kepentingan rakyat, tentu saja saya akan mundur, dan temen-temen tidak usah demo, bahkan nanti sebelum pemilihan pun saya berani melakukan kontrak politik", gus Krobo menegaskan.

Haripun semakin larut, tidak terasa waktu sudah menjelang tengah malam, diskusipun diakhiri, masih ada beribu pertanyaan yang masih mengendap dan perlu dijawab, tapi setidaknya ada satu benang merah yang bisa diambil dan dapat dijadikan pembelajaran. Bahwa kita tidak lagi rela jika bangsa dan negara ini di curi oleh para politisi busuk yang sama sekali tidak memikirkan kepentingan rakyat, kita harus merebutnya kembali, dan mendorong temen-temen prodem yang punya komitmen dan idelisme kuat untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan, guna memperpaiki nasib bangsa kearah yang lebih baik.

www.manikayakauci.org

Propaganda, Kuasa, Dan Pengetahuan

Genealogi Ilmu Komunikasi di Indonesia, Suatu Penelusuran Awal

Ignatius Haryanto

Pengantar

PERKEMBANGAN ilmu komunikasi di Indonesia dan berbagai kegiatan penerapannya sangat berkembang dalam satu dasawarsa terakhir ini. Ada beberapa indikasi yang bisa ditunjuk untuk melihat perkembangan tersebut. Pertama, adalah makin banyaknya dibuka program-program pendidikan komunikasi (terutama dalam ilmu terapannya) yang diselenggarakan baik oleh perguruan tinggi (mulai dari program sarjana, diploma, hingga kelas extention) ataupun kelembagaan pendidikan non perguruan tinggi lain (ada berbagai pendidikan non degree yang menawarkan program-program komunikasi terapan ini).

Kedua, hasil lebih lanjut dari berbagai program ini adalah tentu saja, semakin banyak lulusan-lulusan berbagai program tadi yang memiliki latar belakang pendidikan komunikasi. Ketiga, hampir seluruh instansi pemerintah, perusahaan bisnis dan berbagai kelembagaan lain yang berurusan dengan publik, pastilah memiliki suatu departemen yang diberi nama Hubungan Masyarakat (Humas) / Public Relations, ataupun kelembagaan konsultan Humas. Keempat, salah satu hasil lain dari program terapan ilmu komunikasi adalah bidang periklanan atau advertising yang juga menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dalam dua dekade belakangan ini.

Tak ada yang salah dengan fenomena yang telah disebutkan di atas, karena bagaimanapun juga perkembangan yang terjadi di Indonesia juga merupakan hal yang istimewa jika dibandingkan dengan perkembangan yang terjadi di belahan dunia lain, terutama negara yang sudah termasuk dalam sebutan negara Industri (ataukah negara industri advanced ataupun negara industri baru), apalagi dengan kemajuan teknologi informasi telah membuat berbagai rangkaian hubungan antar manusia atau lembaga kini menjadi makin kompleks, sehingga ada kebutuhan untuk sebagian pihak untuk mengadakan suatu kelembagaan khusus yang berurusan dengan masalah komunikasi – terutama – dengan pihak luar.

Yang hendak ditulis di sini adalah suatu kritik atas pemahaman ataupun perkembangan ilmu dominan yang terjadi dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia, yang sebenarnya merupakan bagian dari kritik lebih luas terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia, yang menunjukkan kemandegan atas cara berpikir yang telah diterapkan sekian lama, lewat suatu cara yang spesifik dalam pelanggengan suatu mazhab tertentu yang diyakini untuk diajarkan, dan diterapkan, tanpa ada suatu dimensi kritik epistemology atas perkembangan ilmu itu sendiri.

Tesis utama yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia yang terutama diajarkan oleh universitas-universitas dominan di Indonesia, lebih membela suatu paradigma tunggal, atau katakanlah lebih membela paradigma yang lebih pragmatis, cenderung positivistik, mengabaikan konteks perkembangan ilmu dalam wilayah dimana ia berkembang, serta tak pernah mempertanyakan keabsahan asumsi-asumsi yang terletak di balik penggunaan paradigma dominan dalam perkembangan pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.

Dengan menyebut ‘paradigma tunggal’, posisi binner adalah paradigma plural, dimana ada berbagai mazhab lain yang dikenal dalam ilmu komunikasi atau ilmu lain yang kini sering berinteraksi secara metodologis dengan ilmu-ilmu komunikasi. Dengan membela posisi paradigma yang plural, maka tulisan ini pun hendak membela suatu pendekatan interaksi antar bidang ilmu yang untuk sebagian pihak masih dianggap suatu tabu.1

Tulisan ini barulah sekedar tulisan awal untuk melacak akar-akar perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia yang terutama sangat berorientasi pada perkembangan ilmu komunikasi di Amerika, terutama dalam kacamata paradigma positivistik, berakar pada mashab Chicago School, dan juga dengan pendekatan yang sangat pragmatis, dengan asumsi-asumsi yang sudah diterima begitu saja dan cenderung menggunakan statistik untuk peneguhan tesis yang sudah dipegang awalnya. Dari sini, secara tidak langsung, hendak mencoba menjawab mengapa terjadi kemandekan dalam perkembangan ilmu komunikasi, sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial lainnya di Indonesia.

Tulisan ini juga hendak melacak bagaimana ilmu komunikasi di Amerika sendiri berkembang menjadi suatu disiplin yang lebih mapan terutama pada tahun 1950-an atau dekade awal setelah selesainya perang dunia II. Hal tentang perang dunia II, di sini disinggung karena ini terutama berkait dengan fakta bahwa sejumlah ahli ilmu komunikasi Amerika – yang teorinya dipergunakan oleh para mahasiswa dan sarjana ilmu komunikasi tanpa daya kritis, dan dianggap sebagai the founding fathers of communication science - punya andil besar dalam penerapan dan pengembangan metode-metode ilmu komunikasi untuk membela kepentingan Amerika dalam perang yang terjadi sejak masa perang dunia II hingga masa perang dingin tahun 1960-an. 2

Dari pelacakan sejarah awal di Amerika, diharapkan tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran, bahwa perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia tak bisa juga dilepaskan dari perkembangan kepentingan ekonomi dan politik Amerika terhadap negara dunia ketiga, seperti Indonesia – terutama yang jaman Sukarno dikenal dengan nasionalisme dunia ketiga dengan mendirikan gerakan non blok dengan negara-negara Asia dan Afrika – dan perkembangan posisi ilmu komunikasi di Indonesia saat ini tak juga bisa dilepaskan dari perkembangan pendekatan developmentalis yang dianut para penyusun kebijakan sosial pada masa awal orde baru, terutama dengan menggandeng ilmu sosial, khususnya ilmu komunikasi dalam kekuasaan birokrasi negara.

Tulisan ini hendak dimulai dengan pelacakan perkembangan ilmu komunikasi di Amerika – yang dibedakan dengan perkembangan ilmu komunikasi di Eropa Barat3
dan juga perkembangan ilmu komunikasi di Amerika Latin ataupun India yang memiliki ciri perkembangan khas – terutama dengan bertumpu pada pengembangan metode propaganda sebagai hasil penting dari dua perang dunia (1914-1918 dan 1939-1945) dengan dua tokoh utama Harold Lasswell dan Walter Lippman. Kemudian tulisan ini berlanjut pada perkembangan metode perang psikologis (psychological warfare) yang digunakan para ahli komunikasi Amerika yang bekerja pada 6 kelembagaan perang Amerika untuk membela kepentingan ekonomi dan politik Amerika.4

Kemudian setelah itu tulisan ini menyoroti sejarah perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia dengan terutama menyoroti bagaimana dekatnya hubungan para sarjana ilmu komunikasi di Indonesia dengan ilmu komunikasi asal Amerika,5
serta menunjuk pada luasnya pengaruh ‘mazhab Amerika’ ini dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.6 Di bagian akhir tulisan ini, akan sedikit dipaparkan bagaimana propaganda dilakukan di Indonesia oleh kelompok yang menginginkan kejatuhan Sukarno pada tahun 1965/66, dengan menjalankan proyek kudeta sembari melempar berbagai tudingan ke pihak-pihak lain. Bagian ini hendak menunjuk pada penerapan metode propaganda terutama dari kepentingan ilmu komunikasi Amerika dalam proses transisi politik tahun 1965/66 tersebut.7

Membuka Selubung Ideologis: Sumbangan Christopher Simpson dalam memahami konteks perkembangan studi komunikasi di Amerika

Sebelum masuk dalam pembahasan lebih jauh terhadap Lasswell, Lippman dan model teori Propaganda, ada baiknya sedikit mengulas suatu buku yang sangat relevan dalam topik bahasan ini, yaitu buku yang ditulis oleh Christopher Simpson, yang berjudul Science of Coercion: Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960 (Oxford University Press, 1994).

Buku ini membedah secara tajam bagaimana keterkaitan para ahli ilmu komunikasi di Amerika (termasuk di dalamnya sejumlah anggota peneliti dari Institut fur Sozialforschung, seperti Herbert Marcuse8 dan Leo Lowental yang bermigrasi ke Amerika ketika para sarjana ‘critical school’ ini terpaksa pergi dari Jerman ketika mulai dalam kekuasaan Hitler) dengan penggunaan perang psikologis yang dikembangkan mereka pada masa antara tahun 1945 dan 1960, dan kalangan militer Amerika yang memiliki kepentingan besar dalam perkembangan metode atau paradigma tertentu dalam studi komunikasi dan mereka ini juga yang punya kuasa untuk menentukan ‘apakah studi komunikasi’ itu, tentunya dengan paradigma yang mereka anggap ‘objektif,’ mencari ‘kebenaran ilmiah.’ Pengembangan pendekatan ini pun didukung dengan besarnya bantuan dana yang diberikan untuk proyek-proyek penelitian yang berkait dengan soal ini.

Perang psikologis di sini diartikan sebagai “serangkaian strategi dan taktik yang didisain untuk mencapai tujuan ideologis, politis dan militer dari organisasi yang membiayainya lewat eksploitasi atribut-atribut sosial dan psikologis, serta sistem komunikasi masyarakat yang dibidik.” Atau dengan kata lain, perang psikologis juga bisa diartikan sebagai “aplikasi pendekatan komunikasi massa dalam konflik-konflik social, dimana ia memfokuskan pada penggabungan antara penggunaan kekerasan atau bentuk komunikasi konvensional lain untuk mencapai kepentingan politik dan militer” 9

Untuk kalangan militer Amerika, ‘komunikasi’ dimengerti tidak lebih dari suatu bentuk transmisi pesan dimana pesannya bisa berupa apa saja untuk mencapai tujuan ideologis, politis dan membela kepentingan militer.10 Tidak cuma itu, agen-agen keamanan Amerika juga melihat propaganda dan perang psikologis sebagai “alat untuk memperluas pengaruh pemerintah Amerika di wilayah-wilayah lain yang kemudian bisa dikuasai oleh tentara-tentara Amerika, dengan biaya yang murah.”11 Sebagai suatu contoh dikemukakan bahwa radio CIA di negara-negara Eropa Timur telah menjadi “sarana yang paling murah, aman, dan efektif bagi kepentingan politik luar negeri Amerika”.

Dan menurut Simpson, perkembangan metode perang psikologis dan pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu komunikasi di Amerika saat itu harus dilihat dalam kaitannya dengan konteks politik dan ekonomi antara tahun 1940 hingga 1950-an, dimana tujuan utama dari operasi perang psikologis tersebut adalah “untuk membuat frustasi ambisi dari negara-negara berkembang yang kaya dengan sumber daya alam, yang memiliki gerakan massa yang radikal, serta memiliki problem-problem besar seperti masalah kemiskinan, ketergantungan, dan korupsi yang hebat.”12

Dari sisi keuangan, hal ini juga menjadi jelas, bahwa antara tahun 1945 hingga 1960, badan-badan seperti Departemen Pertahanan Amerika, kemudian US Information Agency, dan CIA memberikan banyak dana untuk proyek-proyek penelitian komunikasi. Pada tahun 1950-an saja diumumkan, budget untuk penelitian tersebut mencapai $ 1 milyar per tahun, dan di antara dana itu antara $ 7 hingga $ 13 juta disisihkan untuk universitas, untuk kelompok-kelompok think thank, khususnya untuk bidang-bidang: komunikasi yang erat kaitannya dengan psikologi sosial, studi-studi efek komunikasi, studi antropologi dari system komunikasi negara-negara luar, studi tentang pemirsa (audience) di negara-negara luar, dan juga survey-survey opini publik di negara luar.13 Bidang ini semua adalah bidang-bidang yang kini mendominasi pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia dan hampir semua berasal dari latar belakang kondisi perang tersebut.

Sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial, ilmu komunikasi memang punya peran penting dalam kebijakan politik luar negeri Amerika. Seperti dikemukakan oleh salah satu tokoh penting dalam ilmu komunikasi Amerika, Ithiel de Sola Pool, “partisipasi aktif dari para sarjana sosial dalam politik luar negeri Amerika adalah karena mereka adalah birokrat-birokrat atau elite penentu kebijakan di masa mendatang, dan satu-satunya harapan untuk pemerintahan yang humanis (humane government) di masa mendatang adalah dengan penggunaan ilmu-ilmu sosial secara meluas oleh pemerintah.”14

Dengan membaca buku ini maka terbukalah tabir gelap yang selama ini banyak dilupakan banyak sarjana komunikasi di Indonesia, yaitu membuka selubung hubungan antara pengetahuan dan kuasa, atau membuka selubung asumsi-asumsi berbagai pendekatan ilmu komunikasi yang diajarkan di Indonesia, tanpa memeriksa bagaimana konteks kehadiran dan perkembangan ilmu tersebut secara kritis. 15 Ilmu dan metode komunikasi asal Amerika yang berkembang di Indonesia diterima begitu saja (taken for granted) dan dibayangkan bisa diterapkan dalam konteks di Indonesia sebagaimana hal itu bisa diterapkan di Amerika. 16

Buku ini disusun terutama dengan menggunakan bahan dasar dari dokumen-dokumen yang telah di-declassified untuk menggali bagaimana hubungan antara para ahli ilmu komunikasi Amerika dan kepentingan militer pada saat itu. Suatu catatan kecil di sini misalnya bahwa proyek-proyek penelitian yang dilakukan oleh Wilbur Schramm masih ada dalam kategori classified, dan yang agak mengherankan di sini adalah keterlibatan Wilbur Schramm dalam berbagai proyek rahasia militer ini tak pernah disebut – paling tidak dalam catatan kaki – pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia, walaupun dalam terjemahan profil Schramm di jurnal ISKI pernah disebutkan secara sepintas bahwa Schramm punya keterkaitan dengan CIA dan kelembagaan militer Amerika lainnya. 17

Lasswell, Lippman & Teori Propaganda: Cikal bakal studi komunikasi di Amerika

Diktum Lasswell akan selalu diingat oleh mereka yang pernah sedikit belajar ilmu politik atau ilmu komunikasi – karena sesungguhnya Harold Lasswell adalah ilmuwan politik-; “Who says what, to whom, to which channel and with what effect.” Inilah diktum yang akan selalu diingat sebagai suatu model teori komunikasi yang linier, yang ia temukan dari hasil pengamatan dan praktek yang ia lakukan sepanjang masa perang dunia pertama dan kedua.

Pada tahun 1926, Harold Lasswell menulis disertasinya yang berjudul “Propaganda Technique in the World War,” yang menyebutkan sejumlah program propaganda yang bervariasi mulai dari konsep sebagai strategi komunikasi politik, psikologi audiens, dan manipulasi simbol yang diambil dari teknis propaganda yang dilakukan oleh Jerman, Inggris, Perancis dan Amerika.

Sebenarnya kata propaganda sendiri merupakan istilah yang netral. Kata yang berasal dari bahasa Latin “to sow” yang secara etimologi berarti: “menyebarluaskan atau mengusulkan suatu ide” (to disseminate or propagate an idea). Namun dalam perkembangannya, kata ini berubah dan mengandung konotasi negatif yaitu pesan propaganda dianggap tidak jujur, manipulatif, dan juga mencuci otak.18 Pada perkembangan awal ilmu komunikasi, propaganda menjadi topik yang paling penting dibahas pada masa itu, namun anehnya, setelah tahun 1940-an, analisis propaganda ini menghilang dari khasanah ilmu-ilmu sosial di Amerika. Sebagai penggantinya muncullah istilah seperti komunikasi massa (mass communication) atau penelitian komunikasi (communication research), menggantikan istilah propaganda atau opini publik untuk menjelaskan pekerjaan peneliti komunikasi. 19

Lasswell sendiri memberikan definisi atas propaganda sebagai “manajemen dari tingkah laku kolektif dengan cara memanipulasi sejumlah simbol signifikan”. Untuknya definisi ini tidak mengandung nilai baik atau buruk, dan penilaiannya sangat bergantung pada sudut pandang orang yang menggunakannya. Sementara itu ahli lain (Petty & Cacioppo, 1981) menyebut propaganda sebagai usaha “untuk mengubah pandangan orang lain sesuai yang diinginkan seseorang atau juga dengan merusak pandangan yang bertentangan dengannya.” Dalam pengertian ilmu komunikasi, baik propaganda maupun persuasi adalah kegiatan komunikasi yang memiliki tujuan tertentu (intentional communication), dimana si sumber menghendaki ada perilaku yang berubah dari orang lain untuk kepentingan si sumber tapi, belum tentu menguntungkan kepada orang yang dipengaruhi tersebut. Jadi propaganda lebih menunjuk pada kegiatan komunikasi yang satu arah, sementara persuasi lebih merupakan kegiatan komunikasi interpersonal (antar individu), dan untuk itu mengandalkan adanya tatap muka berhadap-hadapan secara langsung. Dengan demikian sebenarnya propaganda adalah persuasi yang dilakukan secara massal.20

Lasswell juga terlibat dalam proyek perang dunia II, dengan melakukan analisa isi terhadap pesan-pesan propaganda yang dilakukan oleh pihak sekutu. Dengan analisa tersebut, Lasswell bermaksud meningkatkan kemampuan dan metodologi propaganda yang dilakukan pada masa itu. Dengan kata lain, Lasswell tak cuma menganalisa propaganda tapi ia juga menciptakan propaganda lain, menghasilkan para murid yang ahli propaganda untuk membantu pemerintah Amerika dalam mengembangkan propaganda dan program intelejen dari pemerintah.21

Sementara itu, tokoh lain yang mengembangkan metode propaganda adalah Walter Lippman, yang juga membuat fondasi awal teori propaganda dari bukunya yang kemudian menjadi buku teks book berbagai universitas beberapa dekade kemudian, Public Opinion (1922) dan The Phantom Public (1925).22 Lippman menulis kedua bukunya berdasarkan pengalamannya sebagai kepala penulis dan editor untuk leaflet bagi kepentingan unit propaganda Amerika. 23

Lippman dalam bukunya mengambil contoh apa yang dilakukan oleh tentara Perancis dalam perang melawan Inggris pada masa PD I, yaitu Perancis tiap minggu mengumumkan penghitungannya atas jumlah korban yang jatuh di pihak Jerman, dan tiap minggu jumlahnya bertambah dalam skala ratusan ribu; 300.000, 400.000, 500.000 dan seterusnya. Tentu saja ini merupakan disinformasi yang dilakukan oleh Perancis dan menurut Lippman, hal ini merupakan bagian dari propaganda.

Lippman mengemukakan tesisnya soal propaganda ini: “Bila sekelompok orang dapat menahan khalayak untuk mendapatkan akses mereka terhadap berita, dan bisa memunculkan berita tentang peristiwa yang mereka kehendaki, pastilah di situ ada propaganda”. Lebih lanjut ia mengatakan: “Untuk menghasilkan suatu propaganda, haruslah ada hambatan antara publik dengan peristiwa yang terjadi.”24 Rogers kemudian mengomentari, semasa perang terjadi, pengelola propaganda dari pemerintah menjadi pengatur lalulintas berita tentang peristiwa-peristiwa penting, dan untuk Lippman propaganda kemudian dimengerti sebagai situasi dimana arus komunikasi menjadi terbatas dan ada sekelompok orang yang berkeinginan untuk mendistorsi berita.

Buat Lippman, komunikasi massa adalah sumber utama dari krisis dunia modern dan komunikasi adalah instrumen yang diperlukan untuk mengelola apapun secara elitis. Menurutnya lagi, ilmu-ilmu sosial menawarkan alat yang bisa membuat administrasi struktur social macam apapun yang tidak stabil menjadi lebih rasional dan efektif. Lippman percaya, propaganda adalah satu alat untuk melakukan mobilisasi massa yang lebih murah daripada terjadinya kekerasan, penyogokan atau cara-cara kontrol lainnya. Dalam artikel lainnya pada tahun 1933, Lasswell pun menambahkan preposisinya, bahwa pengelolaan masalah sosial dan politik yang baik seringkali tergantung pada koordinasi yang rapi antara penggunaan propaganda dan penggunaan paksaan, penggunaan jalan kekerasan atau damai, iming-iming ekonomi, negosiasi diplomatis dan teknik-teknik lainnya. 25

“Bias Amerika” dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia

Sekarang saya akan mencoba menggeser tulisan ini ke soal lain, yaitu menelusuri sejarah perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia, setelah sebelumnya saya membahas kritik ideologi terhadap perkembangan ilmu komunikasi di Amerika, terutama pada dekade antara tahun 1940-60an.

Di Indonesia kemunculan jurusan komunikasi berawal dari perkembangan jurusan jurnalistik atau publisistik yang tercatat dimulai sejak tahun 1953, ketika didirikannya STP (Sekolah Tinggi Publisistik) yang kini bernama IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), dan lima tahun kemudian Jurusan Publistik dibuka di Universitas Gadjah Mada (kini bernama Jurusan Ilmu Komunikasi, di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik). Sementara itu di Jakarta, lewat keputusan presiden tahun 1959, didirikanlah Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, dimana ada jurusan Publisistik. Angkatan pertama dari sekolah ini kebanyakan adalah para wartawan, lalu juga dari ABRI (termasuk intel, Puspen dan Tentara Pelajar), departemen-departemen seperti Penerangan dan Luar Negeri, Ikatan Pers Mahasiswa, percetakan dan penerbitan.26 Sementara itu di Bandung, pada tanggal 18 September 1960 didirikan Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran, yang saat itu diketuai langsung oleh Rektor Unpad, Prof. Iwa Kusumah Sumantri.27 Di Jakarta pada tahun 1956 juga didirikan Akademi Penerangan dan sementara itu di Ujung Pandang, pada tahun 1961 berdiri jurusan Publisistik, pada Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Hasanuddin. 28

Penamaan ‘publisistik’ pada awal dimulainya jurusan ini menunjukkan, pengaruh yang dibawa dari kosa kata Belanda, sebagai masyarakat bekas jajahan Belanda, untuk menunjuk pada studi tentang kemampuan teknis untuk pencarian dan penulisan berita (Cek lagi dari kamus Belanda). Kemudian padaan kata publisistik adalah jurnalistik, yang lebih dikenal dalam kosa kata Inggris, dan kemudian memang jurusan ini lebih banyak berkembang di universitas-universitas di Amerika, karena di sana pulalah industri jurnalistik berkembang dengan pesat, dan didukung pula oleh berbagai jurnal, penghargaan jurnalistik serta prasarana lain yang mendukung perkembangan jurnalistik.

Perubahan penamaan jurusan publisistik menjadi ‘jurusan komunikasi’ pada dekade 1980-an, menunjuk pada evolusi lebih lanjut dari studi ini yang mengarah pada perkembangan yang pararel di Amerika, di mana sejak tahun 1950-60an studi ilmu komunikasi mulai dianggap suatu disiplin ilmu sendiri. Hal itu ditandai oleh hadirnya berbagai jurusan ilmu komunikasi di universitas-universitas di Amerika, diangkatnya sejumlah guru besar komunikasi, terbitnya puluhan buku teks komunikasi, diterbitkannya berbagai jurnal, serta asosiasi sarjana komunikasi yang membuat ilmu ini dianggap suatu ilmu yang mandiri.

Mengenai perubahan orientasi dan nama jurusan atau departemen ini, Djajusman memberikan penjelasan bahwa Publisistik atau Journalism agak mengesankan lebih sebagai craftsmanship (ilmu pertukangan) ketimbang sebagai disiplin ilmu, kemudian dalam perkembangannya, disadari oleh para pengajar bahwa ilmu tersebut tidaklah memadai. Sementara itu di Jerman, ada perkembangan rumpun ilmu yang cukup luas yang meliputi pengetahuan-pengetahuan umum soal kenegaraan seperti hukum, ekonomi dll. “Pendeknya apa saja yang dapat disebarkan kepada masyarakat yaitu Publisistik sebagai suatu Staatswissenchaft tetapi kemudian diperkhusus lagi menjadi ilmu yang disebarkan kepada masyarakat hanya melalui mass media”. Sementara itu dalam perkembangan di Amerika, “mengingat kepentingan dunia industrinya, di samping journalism, merekahkan dan meluncurkan pandangan-pandangan ini menjadi pengetahuan tentang proses komunikasi massa di mana studi intensitas pemasaran ditingkatkan sedemikian rupa, sehingga massa sebagai pengunjah konsumsi terakhir senantiasa dapat merupakan massa yang secara terus menerus dapat diaktivir oleh kegiatan tadi.”29

Yang menarik, perubahan nama jurusan Komunikasi ini dilakukan lewat suatu Keputusan Presiden, yaitu Keppres nomor 107/1982, dan Keppres itu menurut Anwar Arifin, “membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi.”30 Sebelumnya beberapa kampus ada yang masih menggunakan nama Jurusan Publisistik dan ada yang kemudian menggunakan nama Jurusan Komunikasi Massa.

Perkembangan ilmu komunikasi ini tentu saja kembali menunjuk pada fakta yang ditunjukkan oleh Christopher Simpson di depan, bahwa perkembangan ilmu komunikasi pada masa setelah Perang Dunia disokong sepenuhnya oleh berbagai kelembagaan militer Amerika yang memberikan banyak dana untuk pengembangan studi dan penelitian komunikasi dalam rangka kepentingan Amerika mengenali karakter berbagai negara dan bangsa lain di luar Amerika. Tetapi, hal itu tak lepas dari usaha Amerika untuk menghegemoni dunia, dan menjaga posisi Amerika dalam konteks dunia. 31

Simpson menyebut, dengan adanya program perang urat syarat yang dilancarkan Amerika, telah mendorong penelitian ilmu komunikasi menjadi suatu bidang yang khas, memberikan pengaruh kuat kepada para pemimpin dan akan pula menentukan dari paradigma komunikasi yang saling berebut pengaruh, yang mana yang akan lebih diberi dana, mana yang akan lebih dikembangkan dan dirangsang untuk maju. Memang, negara tidak secara langsung menentukan apa yang bisa atau tidak bisa dikatakan oleh seorang sarjana tapi, negara melakukan pengaruh yang signifikan untuk menyeleksi siapa yang otoritatif (memiliki otoritas) dalam bidang tersebut. 32

Sayangnya tak ada artikel yang bisa menjelaskan bagaimana persebaran ilmu komunikasi ini terjadi, sehingga kemudian memunculkan berbagai fakultas atau jurusan ilmu komunikasi di berbagai wilayah di Indonesia.33 Juga tak bisa dirujuk data resmi, yang bisa menunjuk pada pertumbuhan jumlah lulusan jurusan komunikasi ini dalam beberapa tahun terakhir ini. Tetapi, lebih dari soal jumlah lulusan komunikasi, yang lebih menarik adalah menelusuri bagaimana persebaran ilmu ini terjadi, dan mengapa terjadi persebaran yang demikian cepat. Apa hal yang membuat ada ‘kebutuhan’ jurusan dan lulusan ilmu komunikasi dalam waktu yang dekat ini? Adakah ini berkaitan dengan tumbuhnya industri pers, kemudian industri periklanan, dan industri kehumasan yang berkembang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk bidang kerja ini.

Kalau saja secara spekulatif dibayangkan bahwa pergeseran pers politik menjadi pers industri terjadi sejak pertengahan tahun 1980-an sebagaimana disinyalir oleh Daniel Dhakidae,34 maka kita bayangkan pula bahwa kebutuhan akan adanya lulusan-lulusan ilmu komunikasi ini juga meningkat sejak pertengahan tahun 1980-an tersebut. Di sini tak bisa pula diingkari pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan Orde Baru yang membuat industrialisasi bergema di berbagai sector kehidupan, termasuk sektor industri komunikasi ini.

Dengan membaca kembali jurnal-jurnal lama atau laporan karya ilmiah yang diproduksi antara tahun 1970-80an, kita akan melihat betapa dominannya cara pandang tentang komunikasi pembangunan yang merupakan turunan dari pengertian modernisasi yang diterapkan di Indonesia, dengan fokus terutama adalah bagaimana menggiatkan masyarakat lewat kegiatan-kegiatan komunikasi pembangunan terutama lewat program-program pemerintah, dan mengukur bagaimana efektivitas program tersebut dijalankan oleh pemerintah. Banyak riset yang dilakukan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UI pada tahun-tahun tersebut, adalah riset yang didanai oleh pemerintah. Inilah beberapa contoh riset yang pernah dilakukan pada decade 1970-80an tersebut:

1. Kerjasama dengan Proyek Pedesaan UI dengan topik masalah, pemecahan masalah pembangunan desa seperti misalnya peranan pemuka masyarakat desa dalam pembangunan, masalah penyebaran informasi KB, KUD, BIMAS.
2. Kerjasama dengan Departemen Penerangan RI tentang pengaruh TV, penonton TV, pendengar radio, pengaruh film, Pusat Penerangan Masyarakat di daerah-daerah.
3. Kerjasama dengan BKKBN, dengan menerbitkan buku panduan untuk siaran KB melalui radio, TV dan media lainnya. 35

Sementara itu dari Litbang Deppen, ada sejumlah penelitian yang telah dihasilkan pada decade yang sama yaitu: penelitian tentang efektivitas media tradisional, penelitian tentang pengaruh social budaya dari siaran televisi dan radio lewat SKSD, penelitian tentang pengaruh perfilman di daerah pedesaan, penelitian tentang interaksi antara pers dan decision makers, dan sebagainya. 36

Sekarang secara khusus saya ingin menguraikan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ronny Adhikarya, seorang doktor komunikasi asal indonesia yang meraih Master dari Cornell University dan PhD dari Stanford University. Mungkin Adhikarya, sampai saat ini baru satu-satunya orang yang mencoba menelusuri persoalan transfer pengetahuan komunikasi dari paradigma komunikasi dominan di Amerika dengan para sarjana komunikasi asal negara-negara ASEAN.

Studinya ini ia terbitkan pada tahun 1983,30 dan inilah beberapa point kesimpulan hasil penelitiannya:

- Adhikarya menyebutkan walaupun ada peningkatan tajam dari kehadiran para sarjana dari ASEAN ke universitas Amerika, namun para professor di Amerika tidak cukup berusaha untuk mengaitkan apa yang mereka ajarkan untuk menghubungkan dengan apa yang terjadi di negara dunia ketiga (h.2) dan para professor tersebut memiliki pandangan yang lebih Amerika-etnosentris dan lebih tertarik dengan fenomena yang berkembang dalam media komersial Amerika dan isu-isu teknologi canggih dalam komunikasi

- ketergantungan para sarjana komunikasi ASEAN dengan Amerika karena lebih banyak orang mendapatkan pendidikan komunikasi di Amerika dan juga karena tidak tersedianya bahan yang cukup dari karya non-Amerika. Bahkan untuk isu soal komunikasi pembangunan sekalipun, lebih banyak buku atau artikel jurnal ditulis oleh sarjana asal Amerika ketimbang oleh sarjana dari negara dunia ketiga.

- Tak adanya pendekatan kritis dalam pengajaran ilmu komunikasi37 – sebagaimana berkembang misalnya di Amerika Latin – dikarenakan universitas di Amerika banyak yang tidak mengajarkan masalah itu, dan lebih menggunakan pendekatan mainstream.

- Adhikarya pun menyebut sejumlah universitas di Eropa yang dianggap bagus dalam memberikan pemahaman atas pendekatan kritis dalam studi komunikasi: Universitas Leicester di Inggris, Universtias Tampere di Finland, University of Frankfurt di Jerman dan tidak ada sarjana ASEAN yang pernah sekolah di sana.38

- Problem dengan knowledge transfer (note: Adhikarya menulis bahwa “ketergantungan besar terhadap pengetahuan komunikasi Amerika di antara para sarjana ASEAN bukanlah merupakan hal yang sistemik dibuat oleh para sarjana Amerika tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, politik dan budaya dari negara-negara ASEAN tersebut” (h.5) dari US-ASEAN. Hal itu lebih disebabkan oleh dominannya paradigma ‘empirical school’ dalam pengembangan ilmu di ASEAN yang akan mengabdi pada kepentingan status quo negara ataupun untuk kepentingan industri media komersial (h.7).

Karya Adhikarya, walaupun punya sumbangan untuk memahami bagaimana pengaruh ilmu komunikasi Amerika terhadap sarjana komunikasi di ASEAN (dan Indonesia juga), tidak cukup menggambarkan bagaimana proses itu berjalan, mengapa Amerika pada kesempatan pertama lebih dipilih ketimbang misalnya Eropa, padahal jika lihat sejarahnya sejumlah negara di ASEAN lebih memiliki kedekatan historis dengan Eropa, sebagai bekas jajahan Eropa (Inggris dan Belanda), ketimbang misalnya Amerika (mungkin hanya Filipina yang bisa dimasukkan dalam kategori ini). Mengapa ini terjadi? Mengapa perjumpaan dengan Amerika lebih dianggap bisa berkembang, ketimbang dengan negara-negara Eropa Barat? Apakah sentimen anti kolonial menjadi salah satu jawaban berpalingnya para sarjana ASEAN dari negara Eropa Barat ke Amerika?

Artinya oleh Adhikarya, keterkaitan sarjana ASEAN dengan universitas di Amerika lebih dianggap sebagai suatu yang ‘taken for granted’ dan tak perlu dipersoalkan lagi. Padahal, sebagaimana ditunjukkan pada bagian awal tulisan ini, justru perkembangan studi komunikasi di Amerika ini bukan tanpa persoalan.

Juga ketika Adhikarya menyebut tentang dominasi pendekatan empiris dalam pemahaman studi komunikasi oleh para sarjana ASEAN, tidak dielaborasi lebih jauh, mengapa pendekatan lain di luar empiris jadi penting? Apakah pendekatan non-empiris lalu bisa lebih menjelaskan fenonema yang banyak diabaikan oleh para professor Amerika tadi? Atau bagaimana sesungguhnya posisi dua pendekatan besar ini untuk mengerti konteks yang berkembang untuk negara-negara dunia ketiga seperti ASEAN (atau juga bisa disebut sebagai negara industri baru, kalau istilah ‘negara dunia ketiga’ dianggap ketinggalan jaman)?

Harusnya Adhikarya bisa mengelaborasi lebih jauh dimana pentingnya pendekatan lain non-empiris dengan memperhatikan dimensi bahwa struktur masyarakat yang ada di ASEAN (ataupun Indonesia) adalah struktur masyarakat yang berbeda, lalu proses formasi social masyarakat paska kolonial di Indonesia juga berbeda, dan perkembangan kapitalisme (yang tak terhindarkan) juga menghasilkan pola yang berbeda, dan hasilnya suatu kapitalisme yang crony, yang predator, juga akan menambah penting perlunya kajian lain yang lebih komprehensif daripada sekedar menyebut “perlunya pendekatan lain di luar tradisi empiris.”38

Kosongnya tradisi Marxisme dalam ilmu Komunikasi di Indonesia

Hilangnya tradisi Marxisme dalam ilmu-ilmu sosial dan juga dalam ilmu komunikasi, bisa diduga sebagai salah satu akibat mandeknya perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Hilangnya tradisi Marxis ini tentu saja berkait erat dengan regulasi yang dilakukan Negara untuk membatasi percakapan akademis menyangkut pemikiran yang mengambil pokok pada filsuf Karl Marx. Regulasi dilakukan lewat Tap MPRS no 25/1966 yang kemudian sempat kembali ramai ketika Presiden Abdurrachman Wahid, mengusulkan agar Tap tersebut cabut. Namun reaksi yang muncul justru adalah pengerasan penolakan terhadap Tap tersebut.

Implikasi dari hilangnya tradisi Marxis tersebut, memberikan kontribusi kemandekan bagi ilmu sosial sehingga, paradigma dominan, yaitu paradigma modernisasi atau developmentalis menguasai penuh cara berpikir sebagian besar para pengajar di kampus-kampus jurusan komunikasi.

Setidaknya dari pengalaman penulis ketika studi di Universitas Indonesia, nama Marx sesekali disebut dalam ruang kuliah, tapi lebih merupakan informasi singkat atau cenderung misleading, atau disebut sebagai materi yang kira-kira harus dihindari untuk dibahas lebih jauh. Padahal, tradisi Marxis sendiri sudah makan ratusan tahun telah banyak mengritik pendekatan awal Marx dan dalam derivasinya – terutama dari para pemikir dari Eropa Barat, mulai dari Jerman, Inggris, Perancis atau Italia – sudah memunculkan berbagai perdebatan menarik yang punya implikasi terhadap perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri.39

Hilangnya tradisi Marxis ini pun secara luas bisa dilihat dari reaksi yang muncul ketika Presiden Wahid, melontarkan ide pencabutan Tap MPRS 25/1966 tersebut. Sejumlah respon yang muncul kala itu adalah sebentuk pengertian tentang Marxisme yang dibekukan atau direduksi menjadi diktum: Marxisme = Leninisme = Komunisme. Pembekuan pengertian tersebut mengejutkan, karena menunjukkan betapa tertinggalnya wacana yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan saat ini tak ada kelompok yang cukup serius mengkaji pengembangan ilmu ini.

Dalam buku babon yang dipergunakan oleh para mahasiswa jurusan ilmu komunikasi di beberapa tempat (setidaknya di Universitas Indonesia, yang kebetulan penulis mengetahuinya), yaitu buku yang ditulis oleh Stephen Littlejohn, ….. (kini memasuki edisi revisi ke …tahun ) disebutkan beberapa paradigma teori yang punya pengaruh terhadap ilmu komunikasi dan di antaranya disinggung tentang tradisi neo-Marxis dan juga tradisi British Cultural Studies sebagai beberapa derivasi tradisi Marxis, dalam perkembangan di Eropa Barat. Namun, bagian ini lebih disinggung sepintaslalu dalam banyak perkuliahan tersebut. Mungkin ada beberapa sebab hal ini disinggung secara sepintas: Pertama, karena pengajar tidak memahami materi yang diajarkan dalam tradisi itu; kedua, tidak tersedia suatu contoh penelitian yang menggunakan pendekatan teori tersebut di Indonesia; ketiga, tidak tersedia literature yang cukup untuk membahas materi tersebut, atau keempat, phobi atas Marxisme memang kuat baik di antara staf pengajar maupun para mahasiswanya. 40

Sementara itu, tanpa harus menjadi fanatik dengan Marx, sejumlah negara dunia ketiga lain seperti India dan negara-negara Amerika Latin, memiliki sejumlah kritik keras terhadap pendekatan ilmu komunikasi dominan ala Amerika ini. Tradisi sebagai masyarakat post-kolonial dieksplorasi betul oleh para sarjananya untuk menaruh posisi mereka dalam suatu dunia baru paska perang dunia II. Bahkan, sejumlah sarjana India, misalnya, menjadi sangat kritis terhadap perkembangan ilmu sosial di Barat dan menyelenggarakan kelompok studi yang membahas secara serius dalam persoalan penulisan sejarah dari dalam.41

Dengan memeriksa berbagai karya penelitian para dosen komunikasi di Indonesia, ataupun kajian yang muncul di berbagai jurnal antara tahun 1970-an hingga 1990-an, terlihat betapa kosongnya pendekatan Marxis ini dalam kajian ilmu komunikasi di Indonesia. 42

Propaganda dalam praktek awal Orde Baru: aliansi TNI AD dan CIA?

Sekarang saya agak sedikit melompat untuk bicara tema lain yang masih berkaitan dengan tema utama soal Propaganda. Bagian ini sekedar menguraikan bagaimana metode Propaganda dipergunakan untuk menjungkalkan Sukarno pada tahun 1965/6, sebagai bagian dari konspirasi Angkatan Darat dan CIA. Hal ini merupakan sekedar ilustrasi tentang bagaimana beroperasinya metode Propaganda yang kemudian diadopsi oleh Negara Orde Baru dan kelompok bisnis untuk menyebarkan pesan-pesan pembangunan dan glorifikasi industri-industri baru di Indonesia.

Saskia Wieringa ketika menulis studinya soal Gerwani43 pada tahun 1965 menunjukkan dengan rinci, bagaimana proses propaganda dilakukan oleh pihak Angkatan Darat untuk memanipulasi dan mendiskreditkan PKI, dan organisasi lain seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani, sebagai pelaku pembunuhan para jendral.

Propaganda yang dilakukan oleh kelompok Angkatan Darat, memang sangat efektif. Terbukti setelah mereka menguasai kembali Radio Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1965 senjahari, sebelumnya mereka pun telah menebar jaringan Koran atas nama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha di berbagai kota di Indonesia, dengan menerbitkan kedua Koran tersebut dengan berbagai edisi, misalnya edisi Jawa Barat, Jawa Timur, edisi Sumatera, edisi bahasa Inggris, dan bahasa Cina.44

Bahwa CIA punya peran penting di balik propaganda untuk menjatuhkan Sukarno, buktinya menjadi makin jelas dari hari ke hari. Dengan membaca artikel yang ditulis oleh Maruli Tobing, wartawan harian Kompas,45 terlihat makin jelas beberapa bukti keterlibatan CIA, terutama dari sisi bagaimana suatu propaganda dilakukan.46 Dengan mengutip Roland G. Simbulan, seorang professor dari University of Philippines, disebutkan bahwa pada tahun 1965, ada suatu pemancar radio yang sangat kuat, yang bernama Suara Indonesia Bebas, yang getol melancarkan propaganda untuk memberontak dari Sukarno, yang kekuatan pemancarnya bisa ditangkap oleh seluruh radio gelombang pendek di Indonesia, dan sumber pemancar itu ada di markas Jendral Soeharto, yang diangkut lewat sebuah pesawat pengangkut US Air Force C-130 atas perintah langsung dari William Colby, Direktur CIA Divisi Asia Timur Jauh.

Dengan mengutip Peter Dale Scott, juga digambarkan bagaimana trik disinformasi CIA yang begitu canggih menimbulkan ketegangan yang luar biasa, khususnya antara PKI dan kelompok Jendral Nasution, misalnya, dengan memproduksi berbagai leaflet atau pamflet. Ralph McGehee, anggota CIA dari bagian Counterintelligence seksi Komunisme International, juga menyebut bahwa proses eskalasi disinformasi secara sistematis telah dilakukan CIA di Indonesia pada tahun-tahun krusial tersebut. Proses disinformasi merupakan ‘prosedur baku dalam operasi rahasia CIA’, terutama untuk negara-negara yang pemimpin atau kelompok politiknya dianggap menghalangi kepentingan Amerika, di antaranya adalah Presiden Arbenz di Guatemala tahun 1954, Sukarno di Indonesia tahun 1965-66, Allende di Chile tahun 1973, Juan Torres di Bolivia tahun 1971, Arosemana di Dominika tahun 1963, dan Joao Goulart di Brasil tahun 1964. 47

Propaganda yang dilakukan pada awal Orde Baru ini, kemudian diadopsi oleh institusi Negara dan kemudian dikembangkan dalam suatu paradigma baru, paradigma pembangunan ekonomi atau juga bisa disebut sebagai paradigma modernisasi. Berbagai program pemerintah dilakukan dengan cara propaganda, mulai dari soal trilogy pembangunan, kampanye keluarga berencana, pemasyarakatan pancasila ala Orde Baru, dibuatnya institusi-institusi pendukung propaganda ini, misalnya BP7 dan kemudian penerapannya dalam berbagai program pendidikan formal, pembuatan film-film yang menggaungkan kemenangan tentara dan jasa-jasa mereka di masa lalu. 48

Dan para pendukung proyek propaganda negara ini, sebagian adalah sarjana-sarjana komunikasi yang kemudian menjadi birokrat negara, karena sebagian dari mereka percaya bahwa program komunikasi pembangunan terutama harus diterapkan lewat jaring-jaring birokrasi yang ada.

Sementara itu di kalangan kelompok bisnis, terutama misalnya industri periklanan dan juga industri public relations, metode propaganda juga dipakai untuk kepentingan mengkampanyekan berbagai produk konsumtif kepada masyarakat lewat iklan-iklan yang diproduksi di berbagai media. Angka belanja iklan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan dan para perusahaan iklan dan humas internasional pun perlahan-lahan masuk ke Indonesia yang dianggap sebagai “sebuah pasar yang luas dan (pernah) dianggap sebagai salah satu negara industri baru di Asia”.

Noam Chomsky,49 menulis, “State propaganda, when supported by the educated classes and when no deviation is permitted from it, can have a big effect.” Chomsky mengutip Walter Lippman yang berpendapat bahwa demokrasi yang berjalan dengan baik mengandaikan adanya suatu kelas dalam masyarakat yang memiliki fungsi yang aktif dalam menjalankan berbagai hal, dan mereka merupakan kelas yang khusus (specializes class), yang melakukan analisa, mengeksekusi, memutuskan kebijakan dan menjalankan sistem politik, ekonomi dan ideologi.

Buat Chomsky, ada pertanyaan implisit atas bagaimana kelompok kelas khusus ini mencapai posisinya, dan saat dimana mereka menjadi kelompok yang memutuskan kebijakan publik. Jawabannya, cara mereka untuk sampai pada posisi tersebut adalah dengan melakukan politik kekuasaan. Pun kalau mereka tidak menguasai keahlian khusus, mereka tidak akan menjadi anggota kelas khusus tersebut, dan mereka juga harus merupakan kelompok yang telah mengalami indoktrinasi yang dalam tentang nilai-nilai dan kepentingan dari kelompok bisnis atau negara yang mereka wakili.

Menurut Chomsky, Perkembangan industri PR di Amerika bertujuan untuk “mengontrol pikiran publik” seperti yang dikemukakan oleh para pemimpin bisnis ini. Mereka belajar banyak dari sukses yang diraih oleh Komisi Creel dan sukses untuk menakut-nakuti bahaya Merah/komunis dan kelanjutannya. Industri PR Amerika berkembang pesat pada tahun 1920-an dalam menciptakan subordinasi total kepada masyarakat demi kepentingan bisnis.50

Penutup

“Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus menciptakan pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan tak henti-hentinya menimbulkan efek kuasa. Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama lain. Kita tidak bisa membayangkan suatu ketika pengetahuan tidak lagi tergantung pada kekuasaan. Mustahil menyelenggarakan kekuasaan tanpa pengetahuan, sebagaimana halnya mustahil pengetahuan tak mengandung kekuasaan.”51

Hubungan resiprokal antara kuasa dan pengetahuan sebagaimana dilansir Foucault tersebut, menjelaskan banyak hal tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam perkembangan ilmu Komunikasi di Indonesia. Ada kepentingan kekuasaan yang hendak mencari legitimasi dari pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan sendiri memiliki dimensi kekuasaan yang akan bisa dipakai kekuasaan manapun.

Sekali lagi tulisan ini barulah pengantar untuk memasuki wilayah baru dalam mengenali genealogi perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Dan setidaknya tulisan ini hendak mencoba mengungkit-ungkit legitimasi ilmu komunikasi yang berkembang di Indonesia, yang sering diterima tanpa melakukan kritik terhadap konteks-konteks yang mengikuti perkembangan pengetahuan itu sendiri.***

Akhir Januari – awal Maret 2001

Paper ini pernah didiskusikan di Forum Diskusi Bulan Purnama, Jaringan Kerja Budaya (JKB), Maret 2001.

Catatan Kaki:
1Inilah bentuk pertanyaan yang paling ditakuti oleh para mahasiswa komunikasi tingkat akhir kala ia menyiapkan skripsi: “Bagaimana anda bisa mengatakan bahwa skripsi ini adalah skripsi komunikasi?” Persoalannya di sini bukanlah bagaimana ilmu komunikasi bisa menerima bidang kajian tertentu atau topik bahasan tertentu masuk dalam ruang lingkupnya, namun persoalannya lebih menjadi “siapa yang mendefinisikan ‘ilmu komunikasi’ di sini, dalam paradigma apa ilmu komunikasi didefinisikan dan dalam batas mana pula ilmu komunikasi ditentukan”.

2Christopher Simpson, "Science of Coercion: Mass Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960," Oxford University Press, 1994.

3Lihat Jay G. Blumler, “Mass Communication Research in Europe: Some Origins and Prospects”, in Michael Burgoon (ed.) "Communication Year Book 5," 1982, h.145-156.

4Seorang sarjana komunikasi kritis asal Belanda, Cees Hamelink, bahkan menyebut bahwa “perkembangan penelitian komunikasi bukanlah hasil perkembangan ilmiah, tapi hasil dari perkembangan kapitalisme Amerika Utara. Dikutip dari Everett Rogers, “The Empirical and The Critical School of Communication Research”, dalam Michael Burgoon, "Communication Yearbook 5," 1982. lihat h.135. Penggunaan lebih lanjut dari perang psikologis yang dikembangkan pada masa perang tersebut kini pada masa modern banyak diterapkan dalam kepentingan-kepentingan bisnis, misalnya dengan strategi pemasaran atau strategi periklanan yang dilakukan untuk menjual suatu produk tertentu. Lihat James E. Combs & Dan Nimmo, "Propaganda Baru: Kediktatoran Perundingan dalam Politik Masa Kini," (terj.), Bandung: Rosdakarya, 1994 (judul aslinya: New Propaganda: The Dictatorship of Palaver in Contemporary Politics).

5Lihat Ronny Adhikarya,"Knowledge Transfer and Usage in Communication Studies: The US-ASEAN case," Singapore: Asian Mass Communication Research and Information Centre, 1983.

6Tentu saja istilah ‘mazhab Amerika’ ini jauh dari tepat untuk digunakan, tapi sekedar untuk memberikan pengertian yang lebih mudah dengan mengacu pada tradisi perkembangan ilmu komunikasi yang cenderung positivistic yang berkembang di Amerika terutama yang berakar pada ‘bapak-bapak pendiri ilmu komunikasi’ seperti Wilbur Schramm (1907-1987), lalu Ithiel de Sola Pool, Harold Lasswell dan lain-lain. Ini sekedar membedakan dengan tradisi Eropa yang lebih berkutat dengan persoalan-persoalan konteks dimana ilmu komunikasi itu berkembang, kaitannya dengan perkembangan masyarakat dan lain-lain. Secara khusus tentang perkembangan ‘mashab kritis’ di Amerika – dengan tokoh intelektual Amerika juga – lihat pada karya-karya seperti Noam Chomsky, Robert W. McChesney, intelektual Canada, Dallas W Smyte, deretan tokoh ini bisa dilihat lebih jauh pada Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, London: Sage, 1994. Di Indonesia, karya McChesney pernah diterjemahkan yang berasal dari tulisan pamfletnya yang berjudul Konglomerasi Media dan Ancaman Terhadap Demokrasi (Corporate Media and The Threat to Democracy), Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 1998. Sekian nama yang disebut di sini, boleh jadi sangat tidak popular dibandingkan dengan nama ‘para pendiri ilmu komunikasi’ atau para ilmuwan komunikasi ‘mainstream’ tersebut. (perluas namanya dan karyanya..) Khusus tentang perkembangan aliran ekonomi politik dalam menelaah media, selain karya Vincent Mosco yang sangat komprehensif, juga bisa lihat antologi 2 volume yang dikumpulkan oleh Peter Golding & Graham Murdock, keduanya pengajar di Loughborough University, UK, The Political Economy of the Media, Chentelham: Edward Elgar Publishing Ltd., 1997. Dalam antologi ini ada nama-nama sarjana seperti Nicholas Garnham, Oscar Gandy, Ben Bagdikian, Edward S. Herman, Herbert I. Schiller, Thomas Guback, Jeremy Tunstall, Cees Hamelink, Armand Mattelart, untuk menyebut sebagian ahli media yang berada di luar jalur ‘komunikasi mainstream’.

7Bagian ini belum bisa banyak memberikan kesimpulan kecuali sekedar memaparkan beberapa fakta bahwa pengaruh Amerika sangat kuat dalam proses pembentukan citra tentang kelompok yang kemudian dikorbankan, dan di sini sekali lagi memperteguh dugaan bahwa CIA punya peran besar dalam proses menjatuhkan presiden Sukarno pada pertengahan 1960-an tersebut lewat berbagai agennya yang bekerja di Indonesia. Bagian ini harusnya dielaborasi tersendiri secara lebih luas. Namun untuk saat ini penulis masih belum sanggup mengelaborasinya sendiri dalam keterbatasan waktu dan tempat.

8Belakangan Marcuse keluar dari grup ini karena adanya perbedaan pendapat antaranya dengan Harold Laswell dalam masalah menanggapi perkembangan politik masa perang dingin. Lihat Simpson (1994) h.29.

9Simpson (1994) h.11

10Simpson (1994) h.6.

11ibid.

12Simpson (1994) h.7

13Simpson (1994) h.9 Di sini kita pun akan ingat dengan beberapa karya yang punya pengaruh besar dalam perkembangan ilmu social di Indonesia, terutama dengan menggunakan pendekatan developmentalis, seperti Daniel Lerner, "The Passing of Traditional Society (1958), atau juga karya Wilbur Schramm (1954) "Process and Effect of Mass Communication" atau juga Mass Media and National Development (1964) Atau juga karya seperti Samuel Huntington (1967) Political Order in a Changing Societies. Tesis-tesis dasar dari karya-karya ini menjadi fondasi dari bangunan pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.

14Simpson (1994) h.8

15Hal ini mungkin mirip dengan kasus Indonesia pada masa penjajahan Belanda, ketika sejumlah pejabat yang hendak dipekerjakan di Netherland East Indies, harus masuk dulu dalam sekolah Indologi untuk memperkuat pengetahuan mereka tentang tanah jajahan.

15Inilah prinsip ‘objektivitas’ dan ‘bebas nilai’ dari para sarjana yang percaya akan tesis ini, bahwa suatu metode yang ‘objektif’ bisa diterapkan dimana dan kapan saja, dan karena itu ia memperoleh legitimasi sebagai suatu ilmu.

16Di salah satu jurnal Audentia yang dikelola oleh ISKI Jawa Barat pernah ada terjemahan artikel biografi Schramm ini. Di situ pun disinggung bagaimana keterkaitan Schramm dengan proyek-proyek perang dunia II, namun tak pernah ada respon apapun terhadap artikel tersebut dan khususnya yang menyangkut fakta tersebut. Suatu karya lain yang dibuat oleh Everett M. Rogers, ("A History of Communication Study: A Biographical Approach," New York: Free Press, 1994) dalam bagian tentang Wilbur Schramm juga menyinggung bagaimana Schramm punya hubungan dengan kelembagaan-kelembagaan dinas rahasia dan pertahanan Amerika tersebut. Lihat bab 1 ”Wilbur Schramm and the Founding of the Communication Study” h.1-32. Salah satu karya Schramm yang menjadi klasik dan masih dianggap mewakili paradigma utama dalam ilmu komunikasi adalah karya kolektifnya bersama Fred S. Siebert dan Theodore Peterson yaitu "Four Theories of the Press," yang aslinya diterbitkan pada tahun 1952, dan diIndonesiakan sejak tahun 1986. Pandangan klasik terhadap tipologi sistem pers di dunia ini dengan sederhana dikategorikan para penulisnya sebagai: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers tanggungjawab social, dan teori pers Soviet Komunis. Schramm menulis bagian tentang pers Soviet Komunis. Berbagai kritik terhadap teori ini sudah dikemukakan banyak ahli di Barat, tapi anehnya seringkali kritik ini tidak dijadikan tolak berpikir para penulis yang mengutip masalah ini di Indonesia, padahal ada kecurigaan besar bahwa penulisan buku ini merupakan bias Amerika dalam menilai kawan/lawannya dalam kondisi perang dingin. Selain itu, teori Pers Komunis Soviet sudah harus dibuang jauh-jauh karena kondisi ini sejak akhir tahun 1980-an telah banyak berubah. Karenanya penggunaan teori ini di masa mendatang lebih akan masuk sebagai Sejarah saja ketimbang suatu Ilmu yang cukup relevan dalam memotret perkembangan yang jauh lebih kompleks hari ini.

17Everett Rogers, "A History of Communication Study: A Biographical Approach," New York: Free Press, 1994, bab “Harold Lasswell and Propaganda Analyis” hal.210-211.

18Rogers (1994:212) dengan mengutip Delia (1987).

19Rogers, h.214.

20Rogers, h.224.

21Buku ini akhirnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1996 oleh Yayasan Obor Indonesia, dengan judul Opini Publik.

22Lihat Simpson (1994) h.16-30.

23Rogers, h.236

24Simpson (1994) h.18

25Ina Mariani Suparto, “Mass Communication and Journalism Education in Indonesia”, in Crispin C. Maslog, "Communication Education in Asia: Status and Trends in India, Indonesia, Malaysia, Nepal, Philippines and Thailand," Press Foundation of Asia & Communication Assistance Foundation, the Netherlands, 1990, h.37. Data tentang mahasiswa publisistik bisa dilihat pada tulisan R. Djajusman, “Sepuluh Tahun Publisistik: Suatu Pengaliran Kesan dan Kenangan”, dalam Publisistik Masa Kini, Jakarta, 1969. Djajusman pada saat itu adalah bekas ketua jurusan Publisistik, dan bekas ketua Lembaga Research Publisistik.Lihat juga pidato Sukarno pada pembukaan jurusan Publisistik, Fakultas Hukum dan Ilmu Kemasyarakatan, Universitas Indonesia, tanggal 12 Desember 1959 (Deppen 1959)

26Oemi Abdurrachman, “Lembaga Pendidikan Publisistik sebagai Fakultas Penuh di Universitas Negeri Padjadjaran”, dalam Publisistik Masa Kini, Jakarta, 1969. Oemi saat itu menjabat sebagai Dekan Fakultas Publisistik Unpad, dan buku ini merupakan peringatan 10 tahun berdirinya Jurusan Publisistik di UI.

27Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1998 (cet ke-4), h.2. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1988.

28Djajusman (1969) hal.12-13.

29Arifin (1998) hal.1. Di sini akan muncul pertanyaan kritis, mengapa urusan nama jurusan saja harus diatur oleh Negara, dan atas dasar apa penyeragaman nama tersebut dilakukan. Tapi tentu saja dengan mengenai karakter Negara Orde Baru di Indonesia ini, hal-hal yang seragam lebih merupakan pilihan daripada hal-hal yang plural sifatnya.

30Isu penting yang harus disebut di sini adalah masalah National Security yang dirasakan oleh pemerintah Amerika yang kemudian berimplikasi juga pada pengembangan ilmu social di Amerika. Ada perbedaan pandangan di antara para ahli menyangkut soal ini, terutama berkaitan dengan munculnya studi-studi kawasan yang gencar dibuat di Amerika. Hal yang sangat menarik ini dibahas dalam suatu edisi khusus terbitan Bulletin of Concerned Asian Scholars vol.29 no.1, January-Maret 1997 yang bertemakan: Asia, Asian Studies and the National Security State: A Symposium. Terima kasih kepada Hilmar Farid yang menunjukkan edisi ini kepada penulis.

31Simpson (1994) hal.3.

32Misalnya saja jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan telah belasan tahun memiliki jurusan ini dan setidaknya ada dua orang guru besar dari Unhas yang dikenal secara nasional, yaitu Prof. Abdul Muis dan Prof. Anwar Arifin.

33Lihat tesisnya, "The State, the Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry," Cornell University, 1991.

34Lihat Harsono Suwardi, “Pengantar Dari Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Massa, FIS-UI”, dalam Pendidikan dan Perkembangan Komunikasi Massa Universitas Indonesia, terbitan dalam rangka 20 tahun Pendidikan Ilmu Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, 1981. hal.7.

35Lihat F. Rachmadi, “Pendidikan dan penelitian Komunikasi Massa: sebuah tinjauan dari sudut kacamata pemakai hasil”, dalam Pendidikan dan Perkembangan Komunikasi Massa UI, 1981 hal.70. Jika diperiksa lebih lanjut hasil karya tulis (skripsi) yang dibuat antara tahun 1963-1979 sebagaimana tercantum dalam buku yang sama, maka ada jumlah yang cukup signifikan untuk menunjuk bahwa studi tentang propaganda banyak mendapat sambutan dari kalangan mahasiswa komunikasi kala itu walau menunjuk periodisasi waktu yang berbeda-beda (jaman Jepang, jaman Demokrasi Terpimpin).

36Knowledge Transfer and Usage in Communication Studies: the US-ASEAN case, Singapore: Asian Mass Communication Research and Information Centre(AMIC), 1983.

37Lihat lagi pembagian yang dilakukan Rogers (1982) antara pendekatan empiris dan pendekatan kritis di atas.

38Di antara para sarjana ilmu komunikasi di Indonesia, setidaknya ada 2 nama yang dikenal sebagai ‘lulusan Jerman’ yaitu Astrid Soesanto dan Bachtiar Aly (kini keduanya anggota parlemen). Yang perlu diberi catatan di sini adalah, ‘lulusan Jerman’ sekalipun bukanlah jaminan bahwa karya yang dihasilkannya akrab dengan pemikiran kritis yang dimulai dari tradisi neo-Marxis. Astrid Soesanto yang pada tahun 1980-an aktif menulis buku lebih menunjukkan pendekatan pada sosiologi yang agak konservatif, dan cenderung lebih menjadi birokrat, sementara Bachtiar Aly yang menulis disertasi soal sejarah media massa di Indonesia juga tidak cukup kenal dengan tradisi kritis tersebut. Disertasi Aly ini berjudul Geschichte und Gegenwart der Kommunikationssysteme in Indonesien, eine Untersuchung zur publizistischen Entwicklung, Peter Lang: Frankfurt am Main, 1984. Ruang waktu yang dibahas oleh Aly di sini adalah antara tahun 1596-1983. Tesis ini dikomentari oleh Daniel Dhakidae (1991:14) sebagai “It sets itself an impossible task for a communication’s study with the impossible term of, 1596-1983… Despite, or rather because of, its author’s statement that it takes a historical-descriptive metode, it is more a repository of loosely connected events and figures seen in a highly electic way, a hodgepodge of variety of ways of seeing – journalistic, political, cultural and legal – looking into a vast array of communications media such as newspapers, radios, televisions, films, shadow plays, literature, music, all treated in one big stroke”

39Pada decade 80-an perkembangan ilmu sosial masih banyak dipengaruhi oleh dua paradigma besar yang saling berhadap-hadapan, yaitu pendekatan modernis (developmentalis) dan pendekatan dependensi. Tanpa harus terjebak pada dikotomi tajam kedua pendekatan ini, kajian-kajian mikro dalam komunikasi bisa juga menunjukkan bahwa ada proses yang tak seimbang dari produksi dan distribusi produk industri komunikasi di dunia ini. Kita akan ingat gagasan besar yang dikemukakan oleh Komisi MacBride dari UNESCO pada tahun 1974 yang menulis risalah soal tata komunikasi dan informasi dunia baru. Tapi kemudian sarjana lain seperti misalnya Ronald V Bettig, salah satu generasi baru dari tradisi kritis ilmuwan komunikasi di Amerika menulis kajiannya soal industri copyright di dunia yang juga dengan jelas menunjukkan bahwa ada struktur yang tak adil dalam dunia ini dan menempatkan negara dunia ketiga dalam posisi yang terus kalah dengan negara industri maju. Lihat Copyrighting Culture: The Political Economy of Intellectual Property, Boulder: Westview Press, 1996.

40Misalnya saja perdebatan penting soal industri kebudayaan yang dikemukakan oleh Horkheimer dan Adorno mendapat kritik tajam oleh para sarjana lain, terutama yang berkait dengan persoalan imperialisme budaya yang terjadi lewat industri kebudayaan. Topik ini menjadi penting karena merupakan salah satu isu sentral ketika membahas soal komunikasi internasional ketika bicara perimbangan informasi yagn didapat oleh negara dunia ketiga, yangkemudian memunculkan gerakan pada tahun 1974 yaitu New International Information Order dan dibentuknya Komisi Sean MacBride dari UNESCO.

41Lihat footnote no.6 di depan dimana saya menyebut sejumlah tokoh pendekatan ekonomi politik komunikasi muktahir. Nama-nama tersebut banyak terdengar asing di telinga para pengajar atau mahasiswa komunikasi di Indonesia.

42Yang saya maksud di sini adalah kelompok Sub-Altern Studies yang dipelopori oleh Ranajit Guha, lalu Dipesh Chakravarty dan lain-lain. Tiap tahun kelompok ini menerbitkan buku khusus kajian baru atas sejarah India dari versi ‘orang dalam.’

43Saya memeriksa setidaknya beberapa jurnal bernama Publisistik (madjalah ilmiah bidang komunikasi massa, diterbitkan oleh Lembaga Pulibsistik, Fakultas Ilmu Sosial UI) pada tahun 1970-an, lalu jurnal ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia) dan juga jurnal Audentia (diterbitkan oleh ISKI Jawa Barat), keduanya terbit pada decade 1990-an. Juga saya melihat 2 buku penerbitan ulang tahun jurusan Ilmu Komunikasi, FIS UI pada tahun 1969 dan 1981.

44Tentang proses kampanye mencitrakan keterlibatan Gerwani dalam peristiwa G 30 S lihat mulai dari halaman 511-549.

45Dengan memeriksa daftar koran yang terbit antara tahun 1965-67 yang dilakukan oleh Roger K. Paget, maka saya menemukan tak kurang dari 13 koran yang ada di Indonesia dengan nama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha di beberapa kota di Indonesia. Silakan periksa pada artikel “Indonesian Newspaper 1965-67”, Indonesia no.4, 1967. Tigabelas Koran ini belum termasuk dengan Koran lain yang juga berafiliasi secara tidak langsung dengan Angkatan Darat. Lalu yang juga menarik adalah apa yang terjadi pada Koran Pikiran Rakjat di Bandung. Koran ini pada periode awalnya (1951-1965) dikenal sebagai Koran pendukung Sukarno, yang dipimpin oleh Djamal Ali dan Asmarahadi. Namun ketika gejolak politik tahun 1965 naik ke permukaan, Koran ini sempat ditutup dan baru kembali terbit pada tahun 1966 “setelah mendapat bantuan dari tentara Siliwangi” yang hendak menerbitkan Koran Angkatan Bersenjata edisi Jawa Barat. Jadilah kemudian Koran ini memiliki afiliasi tidak langsung dengan Angkatan Darat, yang sejak tahun 1983 dipimpin oleh Atang Ruswita. Lihat Suwirta, “Wacana Kritik Media: Kajian atas harian Pikiran Rakyat”, Wacana vol.1, no.2, Oktober 1999.

46Ada tiga tulisan yang dimuat Kompas tanggal 9 Februari 2001, “Bung Karno di Tengah Jepitan CIA” (hal.25), “Perang Urat Syaraf yang Mematikan” (hal.26) dan “Ketika CIA menggusur ‘Diktator Komunis’” (hal.28)

47Lihat terutama tulisan “Perang Urat Syaraf yang Mematikan”

48Kalau membandingkan dengan tulisan Simpson (1994) ada sejumlah negara yang pernah jadi target operasi rahasia CIA, misalnya Indonesia, Chile, Puerto Rico, Italy, Perancis, Kuba, dan negara bekas Uni Soviet.

49Tentang hal ini bisa dilihat pada skripsi seorang sarjana komunikasi dari UGM, Budi Irawanto, yang kemudian dibukukan Film, Ideologi dan Milite: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia, Analisis Semiotik terhadap ‘Enam Djam di Jogja’,’ Janur Kuning’, dan ‘Serangan Fajar’, Yogyakarta: Media Pressindo, 1999.

50Dalam tulisan “Media Control”, diambil dari situs: http://www.worldmedia.com/archive/talks/9103-media-control.html. Diringkas dari artikel Alternative Press Review, Fall 1993

51Lihat juga kritik yang diajukan oleh Herbert I. Schiller, Culture Inc.: The Corporate Takeover of Public Expression, Oxford University Press, 1989.

52Tulisan ini merupakan pendapat Michel Foucault dalam buku Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, New York: Pantheon Books, 1980, sebagaimana dikutip oleh George Junus Aditjondro, “Pengetahuan-pengetahuan Lokal yang Tertindas”, Jurnal Kalam no.1, 1994.

Sumber : www.bergerak-indoprogress.blogspot.com

Serapan Aspirasi