Belasan tahun malang melintang di dunia LSM membuat Puriartha nampak matang menghadapi persoalan-persoalan kemasyarakatan, terutama masyarakat pedesaan. Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Udayana ini sekarang lebih dikenal sebagai sosok yang melekat dan identik dengan dunia LSM. Apakah peran LSM kini harus berubah seiring dengan keterbukaan yang menganga, atau ia membutuhkan semacam redifinisi mengingat LSM kini keberadaannya lebih dapat diterima oleh semua pihak? Berikut petikan percakapan Bali Post dengan lelaki yang akrab dipanggil Gus Krobo ini.
BELASAN tahun silam, ketika LSM tak laku dan dianggap "lembaga kiri", Anda justru menjatuhkan pilihan masa depan di LSM. Mengapa?
Terus terang saya tak tahu apapun mengenai LSM ketika memasukinya awal-awal tahun 1990-an. Tapi ketika berada di dalamnya, lambat laun saya mengerti bahwa LSM itu tak lebih dari sebagaimana kita berorganisasi, sebagaimana bekerja dan berhubungan dengan orang-orang. Struktur dan mekanisme LSM tak seseram anggapan orang. Hanya, LSM telanjur dicap sebagai organisasi berbahaya di zaman orba. Ia jadi ter-image sebagai lembaga pembangkang. Padahal kita cuma mau memupuk sikap kritis. Kalau bersikap kritis, saya kira itu tak hanya dipunyai LSM. Di pendidikan juga diharapkan bersikap kritis. Dan siapa bilang dunia bisnis juga tak ada sikap kritis?
Apakah Anda melihat harapan dan peluang di sana?
Saya memang akhirnya jadi tertarik dengan dunia LSM. Mulanya saya tak berpikir bahwa di sana ada peluang atau harapan atau masa depan, entah apalagi mau disebutkan. Saya mengalir saja seperti air. Lagi pula, tata kerja LSM tak seketat formalisme kantoran. Jadi, itu cocok dengan gaya hidup saya. Saya sangat menikmati bekerja di LSM, padahal tak jelas gajinya, tak jelas bagaimana cara mendapatkan dana untuk membantu rakyat pedesaan dalam memperjuangkan dan memandirikan daya tawar politik mereka. Kami bahkan keseringan tak beruang. Memang pahit, tapi kami senang. Bertahun-tahun saya dan kawan-kawan menggerakkan lembaga yang kami dirikan, Yayasan Manikaya Kauci, akhirnya toh lambat laun berjalan juga. Dari situ saya mendapatkan pandangan baru tentang LSM. Bagi saya pribadi, LSM itu menjanjikan, LSM itu bisa sangat profesional, bisa jadi sandaran hidup. Saya pribadi mengubah pandangan tentang LSM. Artinya, LSM itu juga bisa menjadi profesi yang wajar.
Menipiskan idealisme dong jadinya?
Saya mengerti, pasti dari aspek idealisme yang dikemukakan buat menyudutkan pendapat saya. Saya mengerti, tapi begini. Ada puluhan jangkauan lingkup kerja LSM. Ada yang mengambil lingkup lingkungan seperti Yayasan Kehati, ada yang bergerak di lingkup hukum seperti LBH, kerajinan rakyat seperti Mitra Bali Foundation, di bidang budaya seperti Gigir Manuk Community, ada yang bergerak di bidang kesehatan, politik dan seterusnya. Semua itu boleh saja, dan harus mengusung idealisme. Tapi mengusung idealisme bukan berarti meniadakan profesionalisme.
Tata kerja yang benar membutuhkan tenaga yang benar juga, sarana dan sasaran yang benar pula. Tata kerja yang benar dan tenaga yang benar adalah gabungan profesionalisme yang dijiwai idealisme. Untuk menopang semua itu, orang-orang yang terlibat di dalamnya juga harus mendapat feed back yang layak pula. Lihat Filipina, pekerja LSM di sana tak ubahnya manajer kantoran; berdasi, mengendarai mobil, kehidupannya layak. Saya pikir, tak ada penipisan idealisme ketika kita bekerja dengan sangat profesional. Bukankah pengertian idealisme adalah keinginan untuk selalu mengejar kesempurnaan?
Jadi Anda ingin mengubah LSM?
LSM tak perlu diubah. LSM sebagai sebuah lembaga sudah benar. Yang diubah ialah persepsi. LSM bukan gerakan kiri, walau barangkali kecenderungan itu mungkin saja terjadi. Persepsi yang selalu menganggap LSM sebagai identifikasi kemiskinan itulah yang harus diubah, persepsi yang menganggap LSM tak bermasa depan itulah yang harus diubah menjadi apa yang disebut sebagai social enterpreneur.
Jika Anda menganggap LSM sebagai dunia profesi, bagaimana halnya dengan anggapan yang berkembang selama ini, yakni LSM sebagai lembaga pengabdian? Tidakkah pandangan Anda berbenturan dengan anggapan itu?
Saya meletakkan kata "pengabdian" pada LSM lebih pada spirit kerja. Artinya, sebetulnya semua orang yang bekerja di bidang apapun sebaiknya memiliki jiwa pengabdian karena itu akan membangun etos kerja. Begitu pun dalam dunia LSM. Tapi dalam perhitungan real, orang LSM harus terbangun pada kenyataan. Pekerja LSM yang pergi ke desa untuk kepentingan pendampingan, atau mabligbagan, atau advokasi, jelas perlu makan, transportasi, alat tulis, alat peraga dan seterusnya. Dana itu harus mereka usahakan, entah dalam bentuk kerja sama, atau mencari penyandang dana. Jika terus-menerus menggunakan uang sendiri, kita akan habis. Selain itu, pengabdian menyiratkan ketidakterikatan. Bisa dibayangkan hasil kerja yang boleh ada boleh tidak, ini tentu saja tidak akan optimal pada aspek sasaran, aspek tanggung jawab, aspek integritas kerja. Jadi, harus hati-hati menterjemahkan pengabdian.
Anda begitu yakin LSM adalah lembaga yang berprospek?
Sangat berprospek. Saya kira, apapun kerja orang, asal ia total dan profesional, pasti jadi. Tuhan lebih berpihak kepada orang-orang yang berpeluh daripada mereka kerjanya cuma berteduh.
Apa maksud Anda dengan statemen di sebuah media bahwa politik itu tidak selebar daun bendera?
Saya kira tak ada yang istimewa dengan pernyataan itu. Bukankah politik adalah wilayah wacana dan praksis yang sangat luas?
Tapi kan pasti ada latar belakangnya?
Begini, euforia politik kita lebih banyak bergerak di wilayah tanda-tanda dan identitas. Itu bagus di tingkat permulaan pembelajaran politik. Tapi persoalannya kita terus-menerus tak naik-naik kelas. Kita selalu mengusung identitas dan menganggap itulah segalanya. Kita lebih repot berurusan dengan bendera, kaos, posko, lalu setelah itu pencabutan bendera, pembakaran posko, penjegalan arak-arakan suatu parpol. Kita hanya berkutat di tataran permukaan dan bukan pada substansi demokrasi yang mau kita capai. Mungkin saya keliru, tapi saya melihat keluasan pengetahuan politik kita hanya seluas daun bendera.
Anda mengatakan memiliki teman di semua parpol. Mengapa tak Anda tawarkan pemikiran-pemikiran demokrasi sebagaimana yang sering Anda dan kawan-kawan semaikan di desa-desa?
Saya sudah melakukan itu. Saya kira para elitenya juga mengerti. Tapi pendidikan politik di tingkat simpatisan, akar rumput, pasti memerlukan waktu yang tak singkat. Selain itu, juga tergantung kepada tingkat intensitas dan integritas elite-elitenya untuk turun ke bawah, berbagi rasa dan pengetahuan kepada kader-kadernya di tingkat bawah. Yang repot adalah penjarakan yang terjadi, antara elite politik dan kaum akar rumput jarang bertemu dan saling mendengarkan. Politik dalam alam demokrasi yang kita terima dari Barat relatif baru bagi kita. Selama puluhan tahun kemarin juga berperanan menjerumuskan kita menjadi apolitis. Karena itu yang terpenting sekarang sebetulnya adalah mengedepankan proses belajar, baik di tingkat pewacanaan maupun praksis. Secara teoritis, proses pembelajaran itu relatif mudah di Bali, kehidupan Bali dibingkai oleh tradisi yang sangat mapan dengan struktur sosialnya.
Kami di LSM telah menerapkan pola itu, yakni lewat struktur sosial yang telah terbentuk itu, kita tinggal mengisi dan meluaskan visi-misi pembelajaran kemandirian pada tingkat desa. Kami datang ke desa bukan mengajari orang-orang desa, melainkan membuka ruang yang lebih luas terutama menekankan kepada hal-hal krusial di pedesaan. Orang-orang desa tak perlu diajari, mereka hanya membutuhkan ada orang yang mau mendengar, orang yang mau memediasi kepentingan-kepentingan mereka.
Menurut Anda, apakah orang Bali berbakat berpolitik?
Saya pikir, semua manusia ialah makhluk politik, sebagaimana juga, semua manusia ialah makhluk yang berpikir. Dalam konteks politik, baik dalam pengertian kekuasaan dan pengelolaan negara maupun yang lebih luas dari itu, semuanya terletak pada proses pembelajaran, kesadaran dan moral. Saya agak kurang sependapat, misalnya ada anggapan bahwa orang Bali kurang berbakat berpolitik ketimbang orang Jawa dan seterusnya. Manusia -- dalam arti yang sangat luas -- ditakdirkan untuk polisein, asal kata politik, mencapai tujuan yang diinginkannya.
Jadi bukan soal berbakat atau tidak, melainkan bagaimana politik itu dijalankan dengan benar. Jika politik diberi teladan dengan baik, saya kira semua orang akan belajar dengan mudah. Memang sederhana. Hanya kita yang menginginkannya jadi rumit.
Jadi, dalam membenahi persoalan kontemporer di Bali, semuanya harus dimulai dari pembenahan kehidupan politik?
Tidak mutlak saya kira. Tapi jika mau memulai dari politik, maka politik harus membangun kebijakan dalam mengarahkan pembangunan Bali secara integral. Tentu juga harus dilihat keseluruhan aspek kultural Bali ketika kebijakan itu akan dibuat. Hanya, apakah pemda tingkat I maupun pemda tingkat II-nya memiliki kerendahan hati untuk memberi peran kepada masyarakat yang pakar di berbagai bidang; apakah elite politiknya mau secara integral pula merapatkan barisan dalam membangun kehidupan demokrasi yang sebenarnya? Untuk tujuan yang luhur dan kebersamaan, saya kira rakyat pasti mendukung.
Menurut Anda, apakah persoalan paling mendesak di Bali?
Kebimbangan nilai di semua lapangan kehidupan di Bali. Kebimbangan itu terjadi karena keadaan zaman yang membenturkan nilai lama dengan nilai baru. Kita lihat misalnya kota-kota di Bali. Sementara di kota kini ada kecenderungan untuk menghidupkan tradisi, pada saat yang sama modernisasi juga tumbuh dengan deras. Sejauh itu, antisipasi kultural juga belum disiapkan. Ada puluhan contoh benturan nilai lama dan baru yang terus terjadi, dan sejauh ini saya belum melihat ada sebuah prestasi yang menggembirakan di mana kita mencoba "melerai" benturan-benturan nilai itu. Kebimbangan nilai membuat kita gagap, dan itu terlihat nyata di sekeliling kita.
Adakah cara sederhana untuk mengatasi krisis di semua lapangan kehidupan di Bali?
Ada, yaitu konsistensi, setelah itu fokus dan kuatnya hukum dan lembaga kontrol. Konsistensi artinya ketetapan yang pasti. Jika sebuah perda mengharuskan jarak supermarket satu dengan yang lainnya adalah 1 km, itu harus ditepati. Fokus ialah kekuatan pada memikirkan sasaran. Ini berarti jika sejumlah sasaran mau kita bidik, maka kita akan memikirkan secara integral apa yang mau dibidik dengan penuh konsentrasi, total dan konsisten. Pada tingkat kontrol ialah kita memberi wacana kritik yang terbuka sebagai pertanggungjawaban atas pekerjaan-pekerjaan publik.
Jika melihat dari kenyataan lapangan, upaya itu ternyata tak sederhana?
Memang, itu karena kita tak pernah benar-benar konsisten, fokus dan berani menerima kritik. Padahal rakyat sendiri sesungguhnya sangat siap untuk tujuan pembangunan Bali yang lebih baik. Jalan yang sederhana pun akhirnya tak mungkin ditempuh jika sejumlah pihak menganggap itu tak menguntungkan.
Melihat kenyataan itu, apakah Anda sering frustrasi?
Oh, pasti! Tapi saya tak mungkin mengamuk. Semua ada saluran dan mekanismenya. Tapi ketika saya sadari saluran dan mekanisme yang ada juga tak lancar berjalan, saya sering sedih tapi terus mengupayakan untuk terus berjuang bersama kawan-kawan meskipun itu kecil. Saya masih sering pergi ke desa, bercakap-cakap dengan mereka tentang arti bagaimana menjadi mandiri dan mencoba bersikap dewasa dalam menghadapi setiap persoalan. Perubahan ke arah yang lebih baik harus menjadi orientasi, baik secara pribadi maupun kolektif.
Mungkin gerakan Anda bersama kawan-kawan terlalu kecil artinya karena Anda berada di luar pagar, di luar sistem?
Tidak juga. Berada di luar pagar justru memungkinkan kita leluasa bergerak. Penyadaran-penyadaran bersama dengan mudah digalang. Saya yakin apa yang kami buat tidak kecil artinya, terutama dalam membangun kemandirian sikap dan orientasi hidup bersama masyarakat di pedesaan. Jangan dikira orang-orang desa itu dungu. Dalam kesederhanaan mereka tersembunyi kekuatan kearifan. Saya sangat tahu itu karena saya ada di tengah mereka. Bersama mereka, orang-orang di pedesaan, apa yang kami lakukan itu sesungguhnya mengukir jejak-jejak langkah dari luar pagar untuk kelak diketahui penguasa betapa kami bisa mandiri baik dalam sikap maupun orientasi politik.
Apakah Anda memiliki kecenderungan untuk masuk ke dalam sistem?
Ke dalam sistem kekuasaan, pengelolaan kekuasaan? Jika itu yang dimaksud, saya terpanggil, baik oleh hati saya sendiri maupun hati masyarakat. Persoalannya karena sistem ditentukan dari dalam pagar. Selama sistem itu berjalan tak lancar, saya tak sabar untuk memperbaikinya. Itu kalau mungkin, kalau banyak orang mendukung dan menghendaki. Saya tak lagi bisa berpura-pura untuk tak mau mengubah keadaan. Tentu saya harus bercermin diri, apakah banyak orang yang mendukung dan menghendaki saya masuk ke sistem itu.
Tapi jika Anda justru larut oleh sistem yang ada?
Saya sebaiknya mengundurkan diri sebelum rakyat menghendaki saya mundur!
Adakah jaminan untuk sikap Anda itu?
Ucapan saya, hati saya dan kesaksian masyarakat Bali. Itu garansinya. Kebahagiaan saya ialah jika Bali berubah ke arah yang lebih baik. Bali harus dikenal bukan saja karena turismenya, melainkan pola pandang dan sikap hidupnya yang berasaskan kultur dan kearifan yang selama ini seperti dilenyapkan. Saya yakin, manusia Bali memiliki potensi karakter yang selalu berani menghadapi kenyataan sesengit apapun. Itu harus dihidupkan dengan cara-cara yang benar.
* pewawancara:
suardika
gusmartin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar